POSKOTA.CO.ID - Pengacara terdakwa Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) Robert Indarto, Handika Honggowongso menganggap, tuntutan hukuman 14 tahun penjara kepada kliennya, keterlaluan.
Handika mengatakan, ketika PT Timah Tbk bekerja sama dengan lima smelter sudah berstatus perusahaan swasta nasional, bukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 2018.
"Jadi tidak ada kerugian keuangan negara. Terlebih dalam tiga tahun kerja sama dengan 5 smelter tersebut PT Timah mendapat pemasukan Rp16,7 triliun dari penjualan balok timah sebanyak 63,7 ribu ton yang dihasilkan 5 smelter," kata Handika dalam keterangan, Rabu, 11 Desember 2024.
Sementara itu, biaya ongkos yang dikeluarkan PT Timah terkait kerja sama dengan lima smelter sebesar Rp14,2 triliun. Kemudian negara juga menerima pajak dan royalti sebesar Rp1,2 triliun, sehingga PT Timah masih meraup keuntungan Rp1,1 triliun.
"Dengan perhitungan seperti itu, di mana ruginya PT Timah? Tapi semua fakta itu dikesampingkan JPU," keluhnya.
Handika juga menyoroti beban uang pengganti yang harus dibayarkan kliennya sebesar Rp1,9 triliun. Ia menilai beban tersebut melanggar pasal 18 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pasalnya, Rp1,6 triliun dari Rp1,9 triliun digunakan membayar biji timah kepada para penambang yang ditunjuk PT Timah, bukan dikelola kliennya.
"Lalu timahnya disetorkan ke PT Timah sebanyak 16,7 ribu ton. Itu nyata dan tidak fiktif. Jadi uang itu sebenarnya tidak dinikmati oleh Robert Indarto," ungkap Handika.
Selain itu, kata Handika, senilai Rp300 miliar digunakan PT SBS untuk biaya pengolahan 16,7 ribu ton biji timah milik PT Timah. Kemudian, uang itu dibayarkan untuk menanggung CSR yang dikelola oleh Harvey Moeis sebesar Rp64 miliar.
"Lalu uang lebihnya itu digunakan untuk keperluan perusahaan. Adapun hasil pengelolaan oleh PT SBS sebanyak 9,2 ribu ton balok timah sudah diserahkan ke PT Timah, jdi di mana ruginya PT Timah timah," terangnya.
Lebih lanjut, Handika turut mempertanyakan perusahaan kliennya dibebani biaya kerusakan lingkungan senilai Rp23 triliun. Padahal, klaimnya, Robert Indarto tidak melakukan penambangan timah dan semestinya dibebankan kepada mitra tambang, masyarakat, dan PT Timah yang aktif melakukan penambangan.