POSKOTA.CO.ID - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Khoirudin menyebut dibutuhkan sinergi atau kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat guna mencegah aksi tawuran yang masih kerap terjadi.
Menurut dia, sinergi atau kolaborasi ini dibutuhkan agar para pelaku tawuran juga dapat jera dan sadar bahwa apa yang mereka lakukan sama sekali tidak bermanfaat.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah anak-anak terdorong untuk melakukan aksi tawuran yaitu melalui peran tokoh masyarakat yang mempunyai idealisme dan nilai-nilai perjuangan.
"Saya pikir yang dibutuhkan adalah tokoh yang berpengaruh, kalau sudah gak ada tokoh yang disegani, rusak itu kampung. Penting keberadaan tokoh untuk bisa melindungi masyarakat, untuk bisa menjadi komando, menggerakkan orang lain. Jadi memang butuh kolaborasi," kata Khoirudin di Jakarta, Senin 25 November 2024.
Selain peran kepolisian, lingkungan juga menjadi peranan penting khususnya terhadap anak-anak agar mereka tidak melakukan hal-hal yang bersifat negatif, apalagi sampai bikin nyawa melayang.
Khoirudin menuturkan, peran pemuka agama misalnya, sangat dibutuhkan dalam mencetak generasi muda.
Dalam hal ini, anak-anak sejak dini diajarkan dan dibimbing ke arah yang positif yang tentunya dapat bermanfaat bagi orang banyak.
"Yang Nasrani ya silahkan untuk taat di pembinaan di agama nasraninya. Yang muslim kembali kepada pemahaman ke islamannya, dibina, dibimbing, agar kalau hatinya sudah dapat hidayah dia tidak akan ikut tawuran. Disamping memang ada langkah kuratif dari pihak keamanan. Saya berharap terus melakukan patroli, keliling," tuturnya.
Disamping itu, Khoirudin menyoroti soal menjamurnya toko obat ilegal yang dapat dengan mudah dijumpai masyarakat, khususnya remaja.
Menurut dia, penjualan obat-obatan atau psikotropika yang dapat dengan mudah dibeli oleh para remaja melalui toko obat ilegal menjadi pemicu para remaja melakukan aksi tawuran.
Sebab, politisi PKS ini menilai, aksi tawuran antar kelompok terjadi karena banyak faktor. Salah satunya pemicu yang mendorong yaitu penggunaan obat-obatan terlarang.
"Variabelnya banyak, kadang-kadang di kampung itu ada yang sudah jual beli bebas Tramadol, obat-obat Tramadol, dan bisa dijual bebas dengan mudah di warung-warung obat, warung-warung kecil yang gak resmi. Orang kalau udah minum Tramadol, itu ditebas tangannya gak sakit gak pedih, gak perih," imbuhnya.
"Tramadol itu banyak dibeli anak-anak muda yang akan tawuran ya, dan kalau di lingkungan saya kita udah persuasif ya ga boleh ada toko obat. Maunya toko obat yang resmi, apotik, gak boleh jual Tramadol," sambung Khoirudin.
Terkait menjamurnya toko obat ilegal, Khoirudin berharap ada regulasi khusus yang mengatur soal itu. Sebab ia menilai penjualan obat-obatan juga harus diawasi ketat.
Jangan sampai, penjualan obat-obatan yang seharusnya dengan anjuran atau resep dari dokter, justru malah disalahgunakan segelintir orang dan akhirnya bisa dijual bebas di pasaran dan dapat dengan mudah dibeli anak-anak atau remaja.
"Kita juga butuh obat, Tramadol juga obat kalau digunakan untuk kebutuhan yang benar. Asal dengan resep dokter, kalau enggak jadi bahaya tubuh kita. Sama kaya morfin, itu buat penanganan medis, bisa dibeli dengan dokter, dijual di apotik. Jadi kita harus pengawasannya ya," tegasnya.
*Persoalan Lama yang Diwariskan Jadi Faktor Maraknya Tawuran Antar Kelompok*
Kriminolog Josias Simon menilai masih maraknya kasus tawuran yang terjadi di masyarakat khususnya di Jabodetabek akibat persoalan lama yang diwariskan.
"Biasanya kan tawuran ada dua kelompok yang memang ada persoalan gitu ya dan itu yang membuat terjadinya tawuran, dan itu sudah berlangsung lama biasanya dan tawuran Jabodetabek bukan tawuran yang tiba-tiba karena biasanya persoalan lama," kata Josias melalui sambungan telepon, Sabtu 23 November 2024.
"Jadi persoalan lama kemudian itu diwariskan oleh yang muda, punya adrenalin yang kuat mereka tawuran. Jadi lebih pada itu," sambungnya.
Josias menilai faktor situasional juga menjadi kesempatan bagi para pelaku tawuran untuk beraksi.
"Artinya kesempatan untuk terjadinya tawuran itu lebih besar daripada meminimalisir wilayah terjadinya tawuran tersebut," tukasnya.
Menurut dia, aksi tawuran yang belakangan ini terjadi hampir sama dengan aksi tawuran terdahulu. Bedanya tawuran sekarang bisa janjian lewat media sosial (medsos).
"Nah itu kan agak sulit tuh penegak hukum mengantisipasi, karena kan pasti cari daerah yang jauh, masyarakat juga mungkin tidak tahu. Nah yang membuat kesempatannya lebih besar," kata dia.
"Dan biasanya terjadi tawuran dipicu oleh bawa sajam, unsur untuk berani katakan ada yang narkoba atau miras itu pemicu," tambahnya.
Disamping itu, Josias menambahkan aksi tawuran yang terjadi di lokasi rawan misalnya di kampung narkoba berpotensi besar karena kerentanan wilayah.
"Kalau menurut saya di daerah wilayah peredaran narkotika itu kesempatannya memang lebih besar gitu, ada kerentanan wilayah," katanya.
Pengamat Sosial, Hamluddin mengamati maraknya aksi tawuran yang masih terjadi khsusunya terhadap remaja dikarenakan tidak adanya sarana aktualisasi diri.
"Karena kan tiap orang punya hobi, kesenangan, kemauan, apalagi di usia pencarian jati diri kan mereka butuh aktualisasi diri, nah itu bisa saja tidak terwadahi. Sehingga saling ngajak, kumpul-kumpul, ketemu rivalnya, terjadi tawuran," tuturnya.
Menurut Hamluddin, pelibatan orang terdekat seperti keluarga dan lingkungan sekitar sangat berpengaruh.
Sebab ia menyebut pihak terkait dalam hal ini Polri telah berupaya memitigasi diantaranya berkoordinasi dengan lintas masyarakat paling bawah yaitu RT RW.
"Kenapa belum efektif? Mungkin karena keterlibatan tingkat bawah, orang-orang terdekat, keluarga," katanya.
Disisi lain, Hamluddin berujar pemerintah bisa mengintervensi misalnya dengan cara memberikan wadah khususnya remaja yang terlibat tawuran.
Wadah atau ruang untuk berekspresi itu juga bertujuan agar anak-anak muda bisa berkegiatan positif.
"Seperti yang ada di bawah kolong flyover, itu kan ada sarana skateboard, nah itu bisa dimanfaatkan untuk anak-anak berekspresi," kata Hamluddin.
Praktisi Kesehatan Masyarakat, dr Ngabila mengatakan remaja yang terlibat dalam tawuran sering kali menunjukkan tanda-tanda permasalahan psikologis, sosial, dan emosional. Diantaranya membutuhkan pengakuan atau identitas dalam mencari jati diri.
"ReMaja pada fase ini cenderung mencari identitas diri. Bergabung dalam kelompok yang sering tawuran bisa memberi mereka rasa memiliki dan pengakuan dari teman sebaya," tuturnya.
Kemudian pengakuan dari kelompol tertentu juga menjadi faktor mendorong pelaku tawuran untuk beraksi. Lalu emosi yang tidak terkelola dengan baik juga menjadi salah satu faktor.
"Lalu perasaan rendah diri, perasaan tidak berharga dapat membuat mereka mengekspresikan dirinya melalui perilaku kekerasan untuk menutupi rasa tidak percaya diri," ungkap Ngabila.
Lalu pengaruh lingkungan juga menjadi faktor yang sangat kuat dalam mempengaruhi pelaku tawuran untuk melakukan aksinya.
"Kurangnya pengawasan orang tua atau konflik dalam keluarga dapat membuat remaja mencari pelampiasan di luar rumah," kata dia.
"Lalu lingkungan sosial. Tinggal di lingkungan yang rawan kekerasan atau memiliki tradisi tawuran dapat memengaruhi pola pikir remaja," sambung Ngabila.
Ngabila menambahkan, media sosial juga menjadi pengaruh aksi tawuran antar kelompok masih kerap terjadi di masyarakat.
"Media sosial atau tontonan yang mempromosikan kekerasan dapat membentuk pandangan bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk menyelesaikan masalah atau menunjukkan kekuatan," katanya.
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.