Ada skema subsidi energi akan diubah, setidaknya diperbaiki, dengan maksud agar lebih tepat sasaran.
Sejumlah skema telah disiapkan, satu di antaranya dengan pola bantuan langsung tunai (BLT). Sementara kita tahu, BLT itu sendiri masih acap dikritisi, karena ada kalanya sebagian kurang tepat sasaran.Jatuh ke tangan yang tidak berhak karena berbagai faktor penyebab.
Sejatinya penilaian mengenai subsidi energi seperti BBM, kurang tepat sasaran sudah sering diutarakan oleh berbagai kalangan.
Seiring dengan pembenahan skema subsidi pun diperbaiki. Misalnya dengan pola pemilihan jenis kendaraan bermotor, mobil pribadi dan mobil penumpang.
Memilah jenis kendaraan dari CC ( cubicle centimeter) alias merujuk kepada besarnya kapasitas mobil.
Asumsinya kian tinggi cc mobil harganya semakin mahal, artinya pemilik mobil dimaksud tidak layak mendapat subsidi.
Subsidi dikatakan tepat sasaran, jika mencerminkan adanya keadilan dengan parameter tingkat kesejahteraan.
Orang kaya yang masih mendapat subsidi menjadi tidak adil, sementara warga miskin tidak dapat menikmati subsidi BBM karena keadaan, sebut saja tidak memiliki kendaraan bermotor, apalagi mobil, patutkah masih disebut adil.
Rakyat tentu menyambut positif skema subsidi energi diperbaiki, ditata kembali aturan mainnya agar benar-benar tepat sasaran.
Lebih-lebih jika persentase subsidi yang tidak tepat sasaran cukup besar.
Seperti dikatakan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, nilai subsidi energi BBM dan listrik yang berpotensi tidak tepat sasaran mencapai Rp 100 triliun dari total alokasi subsidi dan kompensasi tahun 2024 sebesar Rp 4435 triliun.
Persentase tidak tepat sasaran berkisar di angka 20 hingga 30 persen. Tidak tepat sasaran dimaknai, subsidi diterima oleh mereka yang tidak berkah menerima subsidi karena satu dan lain hal, di antaranya tingkat kesejahteraan hidupnya sudah layak alias tergolong orang kaya.
Menjadi pertanyaan, mengapa orang kaya masih mendapat subsidi? Jawabnya boleh jadi akan beragam, tetapi yang patut direnungkan, mungkinkah orang kaya dimaksud yang meminta didaftarkan sebagai penerima subsidi atau karena faktor lainnya, misalnya karena aturan yang membolehkan mendapatkan subsidi.
Jika kehendak pribadi untuk senantiasa menikmati subsidi, meski sejatinya tidak pantas menerima subsidi, maka kesadaran diri yang perlu diperbaiki. Sebaliknya jika aturannya yang lemah, maka aturan itu sendiri yang mesti direvisi.
Jika salah satu pola subsidi energi melalui bantuan langsung tunai kepada masyarakat penerima, cukup beralasan agar tepat sasaran, tetapi yang perlu diperbaiki adalah validitas data penerima subsidi, selain pelaksanaan di lapangan.
Aturan boleh jadi sudah sangat baik, tetapi buruk dalam pelaksanaan, maka akan buruk pula hasil akhirnya. (*)
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.