“Era kini, diperlukan kebijakan yang mengakar. Kebijakan yang sesuai dengan kehendak rakyat, sesuai kebutuhan rakyat saat ini dan masa mendatang. Sejalan dengan cita –cita bersama, bukan untuk menguntungkan relasi..”
-Harmoko-
Kita kenal istilah politik etis, politik saling menghargai, politik balas budi, tahu diri dan sejumlah istilah lain yang tujuannya memberikan dukungan politik karena telah mendapatkan keuntungan atau akan mendapatkan keuntungan di kemudian hari.
Dalam konteks pilkada, dukungan yang telah diberikan akan mendapatkan keuntungan setelah calon yang didukung menjadi kepala daerah.
Dukungan dimaksud tak sebatas memberikan suara, tetapi bantuan modal dan finansial, bantuan logistik, juga beragam fasilitas dan akses untuk memenangkan kontestasi.
Bagi calon terpilih, tentu akan merasa hutang budi atas segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan sehingga dirinya memenangkan pilkada.
Dari hutang budi inilah maka mencuat politik balas budi, yang berujung pada terbitnya kebijakan balas budi yang bertujuan memberikan apresiasi kepada mereka yang selama telah membantunya memenangkan pilkada.
Politik balas budi tidaklah salah karena itu bagian dari politik etis sebagai bentuk penghargaan kepada mereka yang selama ini telah berjasa.
Bagi masyarakat Indonesia hutang budi itu dianggap sesuatu yang sangat berarti, sedapat mungkin membalasnya begitu terdapat peluang.
Ada peribahasa mengatakan,”Hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa sampai mati”.
Ajaran balas budi memang acap dipesankan oleh leluhur kita.Balas budi itu cerminan orang tahu diri, memahami asal usulnya mengapa terjadi seperti yang sekarang ini. Tidak melupakan masa lalu kepada mereka yang telah berjasa.
Pepatah Jawa pun mengajarkan “ Ojo dadi kacang kang lali karo kulite”, artinya jangan menjadi orang yang melupakan jasa orang lain kepada kita.
Cukup beragam orang yang telah berjasa kepada kita. Secara umum, orang tua kita yang telah melahirkan, merawat, memberikan kasih sayang dan membesarkan diri kita hingga seperti ini.
Kepada guru- guru kita yang telah mendidik kita, mengajarkan ilmu pengetahuan kepada kita. Para pemimpin kita di semua tingkatan yang telah membangun daerah dan negeri ini.
Lebih luas lagi adalah para pahlawan bangsa. Itulah orang-orang yang telah berjasa dari masa ke masa.
Haruskah kita balas budi? Jawabnya terhadap mereka yang telah berjasa seperti yang disebutkan tadi, wajib adanya. Dan, balas budi pun bisa dilakukan dengan berbagai cara, sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Menjadi pertanyaan lantas bagaimana dengan balas budi dalam konteks dukungan politik kemenangan pilkada? Jawabnya cukup beragam. Tetapi, dapat dikatakan politik balas budi itu bukanlah hal baru dan tabu.
Sejak kolonial Belanda, politik balas budi sudah ada. Dengan maksud sebagai tanggung jawab moral untuk mensejahterakan rakyat Indonesia (saat itu disebut bangsa pribumi di Hindia Belanda) setelah Belanda telah mempekerjakan warga pribumi secara massal melalui tanam paksa.
Itulah kemudian politik balas budi, saat itu, disebut juga politik etis sebagai panggilan moral
Begitu juga politik balas budi kepala daerah terpilih atas jasa kelompok pendukungnya dalam pilkada sekarang ini, sebagai bentuk tanggung jawab moral karena telah berhutang budi..
Karenanya, dengan segala upaya berusaha melunasi hutang budi tersebut, setelah menjadi kepala daerah, melalui kekuasaan dan jabatannya, termasuk kebijakan yang digulirkan.
Sah-sah saja balas budi karena merasa hutang budi.
Menjadi masalah, jika kepala daerah terjebak hutang budi yang diciptakan segelintir orang yang memiliki kepentingan agar dapat ikut mengatur kebijakan. Hutang budi dijadikan alat dan kesempatan.
Jika ini terjadi, elite politik tidak bisa menolak permintaan mereka yang telah berjasa, karena tadi merasa telah berhutang budi. Pada tataran berikutnya, dikhawatirkan, kebijakan yang digulirkan lebih memenuhi ambisi mereka yang telah memberikan jasa, sebut saja sebagai kebijakan balas budi.
Kebijakan demikian, boleh jadi akan berujung kepada pemanfaatan hasil oleh sekelompok orang , membuat sebagian kelompok lainnya terpinggirkan atau dirugikan.
Padahal di era sekarang, menuju visi Indonesia Emas, diperlukan kebijakan yang mengayomi semua kepentingan, dari pusat hingga daerah.
Era kini, diperlukan kebijakan yang mengakar. Kebijakan yang sesuai dengan kehendak rakyat, sesuai kebutuhan rakyat saat ini dan masa mendatang.
Sejalan dengan cita-cita bersama, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi
Pagi” di media ini.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah kebijakan yang sejalan dengan amanat undang – undang. Senada dengan cita-cita rakyat, bangsa, sejak negeri ini didirikan.
Kebijakan yang hanya diciptakan untuk menguntungkan keluarganya, kelompoknya, dan relasinya, jelas bertentangan dengan tujuan nasional. (Azisoko)
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.