Katanya ‘Negeri Kaya’ kenyataannya negeri ini masih ketergantungan dari impor. Salah satunya Beras yang merupakan makanan pokok Indonesia yang tak tergantikan.
Dampaknya harga beras jelas menjadi primadona pengusaha dan tengkulak untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Anehnya, pemerintah sejak dulu hingga kini tak mampu menekan harga tinggi beras yang terus meroket.
Mereka seperti tidak tau caranya berbuat mulai dari petani menanam padi hingga panen, dan lebih fokus mengandalkan impor, impor dan impor.
beras
Impor beras jelas tidak menyelesaikan masalah justru harga beras bisa disetir dari negara pengimpor.
Presiden Jokowi sendiri sudah tahu bahwa impor tidak menyelesaikan masalah, namun tidak bisa berbuat karena kebutuhan beras Indonesia sangat tinggi. Karena itu, satu-satunya cara yang praktis adalah dengan mengidolakan impor.
Penyerapan dari petani juga hingga kini tidak bisa membuat harga beras stabil. Bahkan penyerapan beras yang diklaim pemerintah tinggi justru membuat pendapatan petani rendah.
Aneh memang, karena itu banyak pandangan masyarakat dan pengamat menilai pemerintah masih ‘Oncom’ untuk serius menangani harga beras.
Bahkan lebih menyedihkan lagi dunia luar menyoroti harga beras negeri ini, seperti Bank Dunia yang merasa aneh dengan ‘Tanah Khatulistiwa’ tapi harga beras tertinggi di ASEAN.
Apa kerja sebenarnya para pejabat dan instansi terkait untuk mengurusi beras ?
Lagi-lagi Bank Dunia menemukan soal rantai pasok yang sangat panjang. Panjangnya rantai pasok itu diperparah dengan kesulitan petani mendapatkan kebutuhan pupuk hingga bibit unggul.
Kini pemerintah membuat gebrakan Program Strategis Nasional (PSN) Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke, untuk mencetak 1 juta hektar sawah di Merauke, Papua Selatan.
Selain untuk mensejahterakan masyarakat pedalaman Papua khususnya di Merauke Papua Selatan, juga nantinya menjadi lumbung beras nasional.
Namun, aktivis Papua mencatat, lokasi proyek ini berada pada kawasan hutan adat dan terdapat lokasi dengan nilai konservasi tinggi. Perwakilan pemilik tanah di Distrik Ilwayab, Marga Gebze Moyuen dan Gebze Dinaulik, mengklaim tanah mereka telah telah digusur.
Padahal ketentuan sebelum sebuah proyek dimulai, masyarakat harus diberikan dan mendapat informasi proyek pembangunan yang akan berlangsung di wilayah adat mereka, serta diberikan kebebasan berunding dan membuat keputusan, apakah menerima atau menolak proyek tersebut.
Kenyataannya, masyarakat terdampak langsung, maupun organisasi lingkungan hidup tidak dilibatkan sejak awal pembahasan kerangka acuan dan penilaian Amdal dan belum mendapatkan informasi dokumen lingkungan.
Jangan sampai kasus komplik Rempang, Batam kedua kembali muncul.
Pemerintah harus benar-benar mengayomi tanah adat di Papua dan waspada potensi korupsi anggaran proyek ini. Kita bukan suudzon, tapi dari pengalaman lumbung korupsi salah satunya tumbuh subur di instansi yang mengurusi pertanian.
Selain anggarannya yang empuk juga sulit terdeteksi apalagi jika masuk ke ranah Bumi Cendrawasih. *
Cek berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan follow WhatsApp Channel POSKOTA untuk update artikel pilihan dan breaking news setiap hari.