Kopi Pagi: Tanpa Kejujuran, Mawas Diri Tiada Arti

Senin 23 Sep 2024, 08:33 WIB
Kopi Pagi: Tanpa Kejujuran, Mawas Diri Tiada Arti. (Poskota)

Kopi Pagi: Tanpa Kejujuran, Mawas Diri Tiada Arti. (Poskota)

Kita paham betul bahwa kehendak wawas diri yang didasari kejujuran lebih banyak dipengaruhi oleh etika dan moral. Di sisi lain, tanpa kejujuran, koreksi diri hanyalah kamuflase belaka, tiada arti, jauh dari manfaat,”

-Harmoko-. 

 

Bukan hanya budaya malu yang perlu diimplementasikan menuju Indonesia Maju, budaya mawas diri, perlu juga dikedepankan melalui keteladanan para elite politik guna menyongsong masa depan yang lebih baik lagi.

Melalui kolom ini, Kamis (19/9/2024) pekan lalu, disebutkan bahwa untuk menuju visi Indonesia Emas, menjadi bangsa yang besar dan mandiri, negara kita memerlukan dukungan seluruh rakyat yang memiliki “rasa malu” sebagai filter diri agar tidak terjerumus kepada hal-hal keburukan.

Malu untuk korupsi, malu menerima suap, pungli dan gratifikasi, malu mengambil hak orang lain, malu memperdaya, mengakali dan menindas saudara sendiri.

Begitu juga dengan mawas diri, diperlukan sebagai filter untuk mencegah sikap ‘adigang-adigung lan adiguno’. Sikap yang mempertontonkan kesombongan karena memiliki kelebihan kekuatan dan kekuasaannya, hartanya, keturunannya, keagungan lainnya, atau yang diagung-agungkan.

Dapat diibaratkan sifat gajah yang mengandalkan kekuatannya, ular yang mengandalkan bisanya dan kijang yang mengandalkan kemampuan melompatnya.

Para leluhur mengajarkan agar kita, siapa pun dia, menghindari “adigang, adigung lan adiguno, karena sikap tersebut cenderung menutup diri untuk melakukan evaluasi diri. Sebaliknya terselip kehendak dirinya paling benar, orang lain yang keliru.

Secara terminologi mawas diri dapat diartikan sebagai upaya untuk mengoreksi diri kita sendiri secara jujur dan sungguh - sungguh. Koreksi dilakukan terhadap emosi, perasaan, pikiran, sikap dan perbuatan yang muncul dalam diri kita.

Beragam emosi, perasaan, pikiran inilah yang perlu dikendalikan agar tidak membuahkan sikap, perilaku perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri, lebih-lebih orang lain.

Kalau pun membikin narasi, hendaknya yang menyejukkan suasana, bukan merisaukan dan membuat galau masyarakat. Bukan menebar masalah, tetapi menyelesaikan masalah. Bukan sebatas prediksi tanpa solusi. Itulah sebabnya mawas diri menjadi penting untuk dilakukan. Setidaknya ada tiga alasan mengapa kita perlu mawas diri?

Pertama, adanya keterbatasan kemampuan. Sebagai manusia tentu memiliki keterbatasan soal waktu, tenaga dan pikiran. Keterbatasan baik menyangkut keilmuan, pengetahuan dan skill.

Kedua, proses tidak selalu berjalan konstan karena setiap masalah memiliki titik kritis yang berbeda- beda.

Ketiga, pengalaman yang serupa tak selalu memberi hasil yang sama, boleh jadi karena beda situasi dan kondisi.

Hanya saja, mawas diri, introspeksi, refleksi  diri atau apa pun istilahnya yang bertujuan untuk mengevaluasi dirinya sendiri, merupakan kata yang gampang diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan.

Lebih – lebih mawas diri memerlukan kejujuran. Jujur mengoreksi terhadap kesalahan -kesalahan yang sering diperbuat, kekurangan yang perlu diperbaiki.

Perlu kiranya kita menginisiasi diri, sekalipun orang lain tidak tahu apa yang ada di benak kita, hati kita, pikiran kita, bukan berarti kita lepas dari pengawasan.

Sekecil apa pun kesalahan, sangat rapi sekalipun pelanggaran disembunyikan, tapi semua itu tak akan tersembunyi di hadapan Tuhan Yang Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Mengetahui.

Maknanya! Kita dituntut untuk jujur mengawasi diri sendiri tiada henti. Kita bisa memulainya dengan senantiasa bersikap rendah hati sebagai refleksi kesadaran diri bahwa kita tidak luput dari kekeliruan.

Bukan dengan kesombongan karena memiliki kelebihan kekuatan dan kekuasaan, lantas berupaya menutupi kekurangan diri sendiri dengan menyalahkan keadaan, bagaikan pepatah” muka buruk, cermin dibelah”.

Bukan pula mengalihkan perhatian untuk menutupi kekurangan, kesalahan yang telah dilakukan.

Kita paham betul bahwa kehendak wawas diri yang didasari kejujuran lebih banyak dipengaruhi oleh etik dan moral para pelakunya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Di sisi lain, tanpa kejujuran, koreksi diri hanyalah kamuflase belaka tiada guna, tiada arti, jauh dari manfaat.

Meski begitu tak berlebihan sekiranya kita berharap bahwa pengawasan terhadap diri sendiri, upaya mawas diri penuh dengan kejujuran, kian membudaya dalam diri kita.

Kita endapkan emosi, singkirkan prasangka buruk, kembangkan pikiran positif sebagai gerakan moral menuju visi Indonesia Emas. Mari kita mulai. Bismillah.(Azisoko).

Berita Terkait
News Update