Kopi Pagi: Kontrak Politik Calon Pejabat VS Rakyat

Kamis 05 Sep 2024, 08:27 WIB
Kopi Pagi: Kontrak Politik Calon Pejabat VS Rakyat. (Poskota)

Kopi Pagi: Kontrak Politik Calon Pejabat VS Rakyat. (Poskota)

Siapa pun hendaknya memiliki kesadaran diri bahwa tidak memenuhi janji tak ubahnya pengkhianatan terhadap diri sendiri.Lebih – lebih janji secara tertulis yang ditandatangani penuh dengan kesadaran dan keikhlasan...

-Harmoko-

Memasuki bulan September ini, keberadaan baliho, spanduk, umbul-umbul, poster dan sejenisnya dengan memasang foto bakal calon kepala daerah terlihat kian marak.

Sepanjang mata memandang di sudut-sudut jalan, perempatan dan pertigaan serta tempat-tempat strategis lainnya, terpampang foto kandidat dengan senyumnya yang menawan menebarkan “wewangian politik” jelang pilkada serentak.

Wajar adanya,memasang foto di ruang publik, tentu dipilih yang paling menarik, bukan saja soal warna, kecerahan cahaya, juga gaya dan gestur tubuhnya. Tak terkecuali menyelipkan janji politiknya.

Sosialisasi bakal calon pejabat publik di ruang publik ini, bagian awal dari strategi politik yang dikemas sebelum pasangan calon menyampaikan visi dan misinya pada kampanye yang dimulai 25 September 2024.

Di masa kampanye itulah, lazimnya pasangan calon menebarkan janji politiknya kepada publik. Namanya janji tentu dibuat sewangi dan seindah mungkin untuk membuai masyarakat sehingga terpesona, lantas memilihnya.

Seiring dengan itu, diciptakan sejumlah strategi untuk meraih sebanyak mungkin dukungan massa. Ada yang mengemasnya dengan politik belas kasihan, politik gerendel, politik merangkul, politik empati, desa mengepung kota dan masih banyak lagi istilah lainnya yang tujuannya memenangkan kontestasi.

Janji manis sepertinya sudah tidak laku lagi karena hasil yang didapat tak semanis janjinya, tak sedikit yang berbuah pahit.

Kontrak politik belakangan menjadi pilihan solusi bagi para kandidat untuk mengembalikan kepercayaan publik. Janji secara tertulis ini selangkah lebih maju, ketimbang diucapkan secara lisan saat kampanye.

Meski kontrak politik itu pun belum menjadi jaminan, tetapi setidaknya dapat memfilter beragam janji yang, kadang, tidak logis dan realistis untuk dapat dipenuhi.

Sayangnya kontrak politik pun bukan perjanjian hukum yang dapat digugat ke pengadilan, jika terjadi pelanggaran.

Menyongsong pelaksanaan pilkada serentak, mungkinkah kontrak politik para calon kepala daerah kepada rakyat dilegalkan? Jawabnya bisa beragam sudut pandang, tetapi yang diharapkan publik adalah adanya pertanggung jawaban terhadap kontrak yang sudah ditandatangani.

Adakah sanksi dapat dilakukan, seperti menarik dukungan secara legal, jika isi perjanjian tidak dijalankan. Setidaknya sebagai mosi tidak percaya dari rakyat untuk kepala daerahnya, saat laporan pertanggung jawaban tahunan di sidang paripurna DPRD?.

Jika hal itu bisa diimplementasikan akan menjadi bagian dari partisipasi rakyat dalam hal keterlibatan pengawasan publik.

Patut diingat, kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Rakyat pula yang menentukan seseorang terpilih menjadi kepala daerah. Hendaknya kepala daerah mengembalikan kekuasaan yang dimiliki kepada rakyatnya.

Maknanya kekuasaan yang diperolehnya dipergunakan sebaik – baiknya untuk kepentingan rakyat, termasuk memenuhi apa yang telah dijanjikan kepada rakyat yang telah memberinya mandat kekuasaannya..

Bukan dipergunakan untuk sebaik – baik kepentingan dirinya, keluarganya dan kerabatnya, hingga lalai akan janjinya kepada rakyat yang telah memilihnya.

Hanya saja bagaimana parameternya? Jawabnya, kontrak politik menjadi salah satu alat parameternya.

Itulah sebabnya, draft kontrak politik calon pejabat dengan rakyat, hendaknya lebih rinci, ada kejelasan mengenai subjeknya, distribusi hak dan kewajibannya.

Dengan begitu kontrak politik bukan sebatas memiliki pertanggungjawaban moral semata, tetapi memiliki tanggung jawab sosial yang berefek, setidaknya tersemainya sanksi sosial kepada pejabat yang ingkar janji.

Dengan harapan, kontrak politik ini sebagai pengingat pejabat agar sedapat mungkin memenuhi janjinya kepada rakyat sebagai bentuk keteladanan padunya ucapan dengan perbuatan.

Siapa pun pejabanya hendaknya memiliki kesadaran diri bahwa tidak memenuhi janji tak ubahnya pengkhianatan terhadap diri sendiri, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini

Ingat. Janji adalah hutang, lebih-lebih janji secara tertulis yang ditandatangani penuh dengan kesadaran dan keikhlasan oleh kedua belah pihak.

Menepati janji tidak hanya akan meningkatkan kadar kepercayaan, juga dapat melanggengkan kekuasaan. Pejabat publik yang tidak menepati janjinya kepada publik, jangan harap dapat terpilih lagi pada periode mendatang. (Azisoko).

Berita Terkait

News Update