Pengantar: Menyongsong peringatan HUT ke-79 Kemerdekaan RI, melalui kolom ini disajikan tulisan berseri mengenai “Kemandirian Bangsa Menuju Indonesia Emas”. Tulisan dimuat setiap hari Senin dan Kamis. (Azisoko).
“Untuk mewujudkan ketahanan pangan, perlu peran serta semua pihak. Tetapi hendaknya “campur tangan” pemerintah, swasta dan pihak mana pun, bukan dalam bentuk korporasi bisnis yang merugikan petani..”
-Harmoko-
Kemandirian pangan tak sebatas soal beras, tetapi menyangkut komoditas pangan lainnya seperti sayur- mayur, buah-buahan, palawija, garam hingga rempah-rempah.
Ini sejalan dengan maksud kemandirian pangan itu sendiri sebagaimana tertuang dalam UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Secara sederhana kemandirian pangan adalah kemampuan memproduksi pangan dalam negeri guna mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya sendiri.
Lebih rinci lagi, dapat dikatakan negara memiliki kemandirian pangan (food resilience), jika memenuhi setidaknya tiga syarat sebagai berikut:
Pertama, mampu memproduksi beraneka ragam pangan dari dalam negeri.
Kedua, beragam pangan yang diproduksi dapat memenuhi kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perorangan bagi semua penduduk negeri, tanpa terkecuali.
Ketiga, beragam pangan yang diproduksi dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat.
Era sekarang, tuntutan pangan tak sekadar terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, tetapi lebih luas lagi. Tuntutan komoditas pangan tak sebatas kuantitas dengan jumlah yang mencukupi, melainkan tersedianya pangan berkualitas lebih dari mencukupi.
Artinya, produk pangan yang diproduksi wajib mematuhi standar mutu kesehatan dan keamanan yang mencakup nilai gizi terpenuhi, sehat alami, aman dikonsumsi karena bebas cemaran, serta ramah lingkungan.
Setidaknya asupan gizi terpenuhi menjadi poin penting sekarang ini agar selaras dengan makan siang bergizi sebagaimana program unggulan pemerintahan mendatang, Prabowo Subianto -Gibran Rakabuming Raka.
Untuk terlaksananya program makan bergizi ini perlu dukungan semua pihak.
Tak hanya soal penganggaran yang perlu dialokasikan, tetapi bagaimana ke depan semua elemen bangsa terlibat dalam penyediaan produk pangan yang tak hanya memenuhi jumlah kebutuhan, juga terpenuhinya kualitas standar mutu.
Maknanya tak hanya mewujudkan kemandirian pangan (komoditas pangan yang mencukupi), tetapi sudah menuju terciptanya ketahanan pangan ( jumlah tercukupi, kualitas pangan juga terpenuhi).
Ini menuntut adanya lompatan kebijakan di bidang pangan sehingga tidak hanya berkutat soal kemandirian yang hingga kini pun masih belum terpenuhi, tetapi bagaimana adanya kemauan politik mewujudkan ketahanan pangan sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045.
Disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.
Tahap awal yang harus dilakukan adalah secara terus menerus meningkatkan produktivitas pangan nasional untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk negeri yang kita tahu jumlahnya semakin bertambah.
Analisis demografis memprediksi tahun 2050, penduduk dunia mencapai 9,7 miliar. Populasi penduduk Indonesia saat ini sekitar 278 juta jiwa dengan kecepatan pertumbuhan penduduk sekitar 1,49 persen atau rata-rata sekitar 4 juta jiwa per tahun.
Saat ini, minimal perlu 33 juta ton beras (idealnya 35 juta ton beras). Butuh 16 juta ton jagung, 2,2 juta ton kedelai, 2,8 juta ton gula dan 484 ribu ton daging sapi untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Jumlah ini akan terus bertambah, seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Ini baru soal kuantitas, belum lagi produk pangan kualitas yang perlu dipenuhi.
Itulah sebabnya, ketahanan pangan bukan sebatas tuntutan.
Bukan pula sekedar memenuhi kebutuhan, tetapi kewajiban negara untuk memenuhinya. Saatnya sekarang memulai, tiada waktu untuk menunda-nunda lagi.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan, perlu peran serta semua pihak. Tetapi hendaknya “campur tangan” pemerintah, swasta dan pihak manapun, bukan dalam bentuk korporasi bisnis yang merugikan petani, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Diharapkan lebih kepada keikhlasan memberikan dukungan kelengkapan sarana produksi, akses permodalan dan pasar. Semuanya dalam rangka membangun ketahanan pangan dalam negeri.
Pemerintah perlu mendorong petani muda ikut terlibat mereformasi pangan dengan mengangkat potensi daerahnya. Hindari pola kebijakan “top down” yang kurang diminati generasi era kini. Sebaiknya beri ruang mengembangkan ide ikut merumuskan solusi terintegrasi ketahanan pangan mulai dari produsen, sistem distribusi, tata niaga hingga konsumen.(Azisoko).