SEJUMLAH istilah politik kembali mencuat jelang gelaran pilkada serentak 27 November mendatang. Sebagaimana lazimnya, istilah itu mencuat untuk merespons situasi politik yang terjadi saat ini.
Sebut saja istilah menjegal, tsunami politik dan barter politik, utamanya menyikapi perkembangan yang terjadi jelang pilkada Jakarta baru-baru ini.
“Barter politik itu, maksudnya tukar tambah ya,” kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan Yudi.
“Maknanya begitu luas, bisa tukar tambah, bisa juga tukar kurang, yang penting saling menguntungkan,” kata Yudi.
“Pengertaian barter itu sendiri adalah perdagangan dengan saling bertukar barang. Zaman dulu, sebelum ada alat tukar yang sah, perdagangan lazimnya digunakan dengan sistem barter,” kata mas Bro.
“Betul zaman baheula seperti itu, karena belum adanya alat tukar yang sah. Sayur ditukar dengan beras dan sebagainya. Pertukaran disesuaikan dengan kebutuhan,”kata Heri.
“Iya, misalnya petani padi menukar berasnya untuk mendapatkan ikan, telur atau daging. Sementara nelayan menukarkan ikannya dengan beras dan sayur mayur. Begitu juga dengan barang yang lain,” kata Yudi.
“Sekarang, sudah zaman modern, zaman digital barter tetap saja dibutuhkan, hanya saja dalam pola yang lain. Misalnya barter keputusan dengan jabatan, barter dukungan dengan proyek dan sebagainya,” kata mas Bro.
“Nah, kalau barter politik jelang pilkada, menurut kalian bagaimana, apanya yang dibarter?,” tanya Heri.
“Untuk mengusung pasangan calon kepala daerah, utamanya gubernur, harus dilakukan dengan koalisi. Nah, dalam koalisi itu biasanya ada barter politik.Sebut saja, untuk posisi gubernur dan wakilnya,” kata mas Bro.
“Berarti tukar posisi calon ya. Misalnya parpol A berkoalisi dengan parpol B sepakat, untuk daerah A gubernurnya dari parpol A, wakilnya dari parpol B. Sementara di daerah B, gubernurnya dari parpol B, wakilnya dari parpol A. Begitu juga untuk daerah lainnya,” kata Heri.