“Satu kata kuncinya adalah bagaimana kita memahami, kemudian menjalankan konstitusi secara baik dan benar sehingga terhindar munculnya kekuasaan tanpa batas atau diktator,”
-Harmoko-
Selama bulan Agustus ini, setidaknya terdapat 12 peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia, dua di antaranya terjadi pada 17 Agustus 1945 dan 18 Agustus 1945.
Kita tahu, 17 Agustus peristiwa sejarah besar bagi bangsa kita, yang disebut Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, sedangkan esok harinya, 18 Agustus 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Konstitusi Republik Indonesia.
Dua peristiwa tersebut tak bisa dipisahkan satu sama lain, keduanya memiliki korelasi yang sangat erat dan kuat. Proklamasi dan konstitusi tak bisa dipisahkan dalam terbentuknya negara kita.
Melalui kolom ini, akan kami singgung soal konstitusi negeri kita dikaitkan dengan mencuatnya aspirasi yang berkembang menyangkut ketatanegaraan ke depan.
Sementara mengenai Proklamasi berikut nilai – nilai kejuangan yang perlu dikedepankan menyongsong Indonesia Emas, akan kami sajikan dalam kolom berikutnya.
Hari Konstitusi, menurut sejumlah sumber, adalah momentum bersejarah dalam memperingati adanya sistem ketatanegaraan Indonesia, salah satunya UUD 1945 yang menjadi landasan hukum.
Di dalamnya memuat cita – cita Indonesia merdeka, falsafah bangsa yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan negara, serta tujuan pembentukan pemerintah negara Indonesia.
Dapat dikatakan, adanya Hari Konstitusi sebagai pengingat bagi seluruh bangsa agar kembali kepada konstitusi sebagai rujukan dan panduan bernegara.
Topik konstitusi kembali mencuat ke permukaan karena adanya kehendak perubahan dalam ketatanegaraan, di antaranya mengenai pemisahan antara pemilihan presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg).
Melalui pemisahan penyelenggaraan, tidak terjadi pembiasan dalam pemilihan. Masyarakat lebih fokus kepada satu pemilihan, yakni presiden, jika digelar pilpres dan calon anggota DPR/DPRD, jika dilangsungkan pemilihan legislatif.
Di sisi lain, para caleg akan lebih fokus dalam menjalankan visi misinya, mengenalkan dirinya kepada publik, apa yang hendak dilakukan kemudian dalam membangun bangsa dan negara. Tidak ada beban lagi untuk memenangkan paslon capres – cawapres dari parpolnya atau didukung parpolnya.
Masih banyak keinginan untuk menyempurnakan konstitusi di negeri kita. Menyempurnakan dalam artian menambahkan agar lebih baik lagi terhadap adanya kekurangan yang selama ini dirasakan.
Sebut saja soal ambang batas pencalonan pasangan pilpres, ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan kepala daerah. Belum lagi kehendak menguji kembali kedudukan lembaga legislatif. Ada keinginan perlunya penguatan DPR,MPR dan DPD.
Kita paham, sejak amandemen UUD 1945 yang lalu, MPR tak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. MPR menjadi lembaga negara seperti lembaga negara yang lainnya.
Satu dampaknya, di antaranya tiada lagi GBHN yang menjadi pedoman dalam pembangunan berkelanjutan. Tak jarang mencuat penilaian, tidak tertutup peluang ganti pejabat, berganti pula kebijakan.
Akankah kita akan kembali ke konstitusi, kembali kepada UUD 1945 sebagaimana pasca kemerdekaan, atau kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen atau amandemen baru dengan pengurangan atau penambahan beberapa hal baru yang dipandang perlu.
Amandemen guna memperbaiki sistem hukum dan politik negeri kita, bukanlah hal baru karena sudah empat kali negara kita melakukan amandemen.
Bukan pula hal yang tabu, karena konstitusi memberikan kewenangan kepada MPR untuk melakukan amandemen UUD 1945.
Meski begitu, berulang kali mengubah UUD bukanlah sebuah keharusan, apalagi jika dilakukan secara parsial guna mengapresiasi kebutuhan musiman.
Hendaknya dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan konstitusi selama ini, sehingga amandemen bukan hanya untuk kebutuhan saat ini saja, bukan untuk lima atau 10 tahun ke depan, tetapi sepanjang masa.
Satu hal lagi, dalam konstitusi bukan hanya ada rule of law (sistem hukum), tetapi perlu juga adanya rule of ethics (sistem etika) yang menyertainya, yang belakangan ini kian menjadi tuntutan bersama.
Mencuat harapan, amandemen mendatang tidak keluar dari sejarah konstitusi yang dilahirkan para pendiri negeri, sebagai sumber hukum tertinggi, alat membatasi penguasa dan pengendali rakyat, pelindung hak asasi manusia, simbol persatuan rakyat, rujukan identitas dan lambang negara.
Satu kata kuncinya adalah bagaimana kita memahami, kemudian menjalankan konstitusi secara baik dan benar sehingga terhindar munculnya kekuasaan tanpa batas atau diktator, seperti pernah dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media. (Azisoko)