Kopi Pagi Harmoko: Etis dan Realistis

Senin 08 Jul 2024, 08:02 WIB
Tujuan politik itu mulia sebagai institusi untuk memperjuangkan terwujudnya cita – cita bangsa, yakni masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. (POSKOTA)

Tujuan politik itu mulia sebagai institusi untuk memperjuangkan terwujudnya cita – cita bangsa, yakni masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. (POSKOTA)

Tujuan politik itu mulia sebagai institusi untuk memperjuangkan terwujudnya cita – cita bangsa, yakni masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur,

-Harmoko-

 

Mahalnya biaya politik tidak terbantahkan karena politik uang menjadi keniscayaan dalam politik praktis saat ini, termasuk dalam pemilu. Akankah politik transaksional masih mewarnai perhelatan pilkada serentak yang akan digelar 27 November 2024?. Jawabnya bisa beragam.

Tetapi sepertinya akan banyak yang sependapat bahwa money politics sulit dihindarkan. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa politik masih akan selalu mewarnai dalam setiap kompetisi perebutan kekuasaan.

Inilah yang patut menjadi renungan bersama, bukan hanya menelusuri beragam faktor penyebabnya, tetapi bagaimana solusinya. Mencuat pendapat, selama pemilu dilakukan secara langsung, selama itu pula di sisi lain akan terdampak mencuatnya politik transaksional, tentu dengan beragam pola dan bentuknya.

Politik uang lazimnya dilakukan secara konvensional, cash and carry, bagaikan jual beli barang secara tunai di pasar tradisional. Begitu pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan - harganya, barang diberikan.

Bedanya, dalam money politics, uang duluan, barangnya belakangan (saat pencoblosan). Lebih tepatnya di era kini, bagaikan belanja online.

Jika uangnya belakangan setelah terpilih, bukan money politics, tetapi janji politik. Itu pun kalau masih ingat.

Sejatinya politik uang tak sebatas uang tunai, uang dalam bentuk barang – benda, dapat disebut politik uang. Boleh jadi modusnya sekarang lebih canggih untuk menghilangkan jejak adanya transaksi. Selain lebih efektif, hasilnya positif.

Cukup beralasan jika dikatakan politik transaksional akan senantiasa fenomenal setiap pelaksanaan pemilu. Bukan saja antara calon – kandidat dengan pemilik hak suara, juga dengan pemodal dan sponsor politik.

Belum lagi tarif  rekomendasi sebagai calon kepala daerah (cakada) yang besarnya bervariasi. Disebut – sebut bagi calon bupati/wali kota, sekitar miliaran rupiah, sedangkan calon gubermur bisa puluhan miliar. Namun, sejumlah parpol telah mengklarifikasi tidak ada mahar politik yang dibebankan kepada cakada.

Jika tanpa mahar ini telah menjadi komitmen semua parpol, dapat mengurangi  beban bagi para calon, meski begitu beban lain harus tetap ditanggung.

Sebut saja, modal yang harus dikeluarkan selama kampanye. Kemudian di saat pencoblosan, biaya saksi yang jumlahnya hingga puluhan miliar rupiah untuk level pilgub.

Tidak berlebihan sekiranya disebutkan untuk maju sebagai calon bupati atau wali kota perlu menyiapkan modal puluhan miliar, sedangkan sebagai calon gubernur, jumlahnya lebih besar lagi.

Biaya akan membengkak, jika terjadi jor-joran dalam pembelian suara kepada konstituen demi meraih kemenangan, duduk di singgasana sebagai bupati, walikota maupun gubernur.

Maknanya pesta demokrasi pada saatnya hanya akan diikuti oleh mereka yang memiliki modal besar, sementara kader berprestasi yang telah lama mengabdi, tetapi tidak memiliki modal, akan tersisihkan.

Dengan kata lain, pelaksanaan demokrasi di negeri kita akan semakin mahal, yang pada saatnya akan membentuk budaya politik yang cenderung materialistis. Sebab, hanya mereka dengan modal besar atau didukung investor bermodal besar yang dapat eksis dalam dunia politik.

Merekalah yang akan menguasai panggung politik, menyiapkan calon – calon pemimpin bangsa ke depan. Calon pemimpin bangsa yang terbangun karena sentuhan politik transaksional.

Jika sudah demikian, akankah dari pemimpin dimaksud,  bakal lahir kebijakan transaksional? Kita tentu tidak berharap demikian.  

Mari kita sudahi budaya politik yang cenderung materialistis menjadi penuh etis ( junjung tinggi etika) dan realistis (sadar diri atas kemampuan yang dimiliki, bukan memaksakan kehendak dengan menghalalkan segala cara).

Untuk menuju ke sana, kian diperlukan kesadaran diri bagi para elite dan calon pemimpin bangsa bahwa politik bukan soal perebutan kekuasaan tanpa gagasan.

Bukan pula perebutan jabatan melalui jual beli suara untuk memaksakan kehendaknya. Politik bukan sekadar kalah dan menang dalam ajang pemilihan, tetapi sebagai upaya membangun peradaban bangsa sebagaimana cita – cita luhur para bapak pendiri Republik Indonesia ini.

Tujuan politik itu mulia sebagai institusi untuk memperjuangkan terwujudnya cita – cita bangsa, yakni masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi”di media ini.

Tentu, bukan sejahtera bagi dirinya sendiri, adil menurut versinya sendiri, dan makmur bagi koleganya sendiri.

Hendaknya atraksi politik seperti itulah yang ditampilkan para elite dalam mengawal pilkada mendatang.

Ingat! Pemilu, termasuk pilkada harus memberi perlindungan kepada rakyat, menjamin rakyat bebas menentukan pilihan.Negara, pemerintah atau penyelenggara pilkada wajib menjamin masyarakat terbebas dari segala bentuk intimidasi, tekanan dan paksaan, kekerasan dan black campaign. (Azisoko).

Berita Terkait

Kopi Pagi Harmoko: Koperasi Masa Depan

Kamis 11 Jul 2024, 09:29 WIB
undefined
News Update