SERANG, POSKOTA.CO.ID - Aktivitas Klinik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten diduga belum memiliki izin operasional dan praktik dokter, selain itu dalam pelayanannya fasilitas medis itu juga tidak mempekerjakan apoteker, dengan penanggung jawab yang bukan berasal dari tenaga medis.
Hal ini diakui oleh Kepala Bagian (Kabag) Umum dan Kepegawaian Sekretariat DPRD Provinsi Banten, Ismail, ditemui di kantornya pada Jumat (21/6/2024).
Dia beralasan situasi di atas lantaran klinik dimaksud bukanlah seperti fasilitas medis pada umumnya, kendati demikian dia tidak mampu mengutarakan istilah kata yang tepat untuk mengemukakannya.
"Ya ini kan bulan seperti klinik. Klinik apa ya saya sebut? Klinik. Izin saja belum ada. Bukan tidak ada ya, namun belum. Untuk apoteker tidak ada. Karena stok obat yang ada ya obat-obat pada umumnya. Dokter di sini ada dua. Tapi jarang ke sini," kata Ismail memberikan alasan.
Ketika ditanya klinik tersebut bukan fasilitas serius, Ismail membantah. Dia menjelaskan pihaknya menyediakan praktek dokter umum, yaitu dr. Ari dan dr. Amarilis Sarah.
Mengenai teknis bagaimana pasien kemudian mendapatkan obat pasca pemeriksaan petugas medis, Ismail tak bisa memaparkannya dengan baik.
"Ya kalau resep dokter (obat, red) nanti dirujuk ke faskes terdekat seperti RSUD Banten. Kecuali kalau sakitnya yang standar-standar saja seperti batuk, pusing atau bagaimana? Untuk fasilitas lainnya di sini juga menyediakan ambulans. Tadinya ada dua namun yang satu sudah ditarik kembali karena itu milik Dinas Kesehatan Banten," ujarnya.
Ismail mengungkapkan bentuk keseriusan memenuhi fasilitas medis di klinik itu, salah satunya dengan memaksimalkan unit ambulans dengan jenis SUV bermerk Mitsubishi Pajero yang telah dimodifikasi sehingga bisa dipergunakan untuk mengantar pasien. Kendaraan ini, lanjutnya, juga seringkali dimanfaatkan mengantar masyarakat umum yang sakit.
Menanggapi hal ini, Aktivis dari Satya Peduli Banten, Sojo Dibacca, mengaku Pemprov Banten harus mengkaji ulang mengenai situasi yang terjadi di lingkungan Sekretariat DPRD. Sebab pengelolaan fasilitas medis harus sesuai aturan, karena menyangkut kesehatan orang yang berobat di sana.
"Ini fasilitas medis loh. Apalagi katanya masyarakat umum bisa mempergunakan. Bagaimana kalau ada apa-apa?" tegasnya.
Sojo menuturkan, klinik DPRD Banten diduga melanggar pasal 196 dan 198 Undang-undang RI No 36/2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun kurungan dan denda Rp 1 miliar. Selain itu juga Permenkes Nomor 9 Tahun 2014 tentang klinik.
"Diaturan disebutkan kriteria-kriteria. Di klinik DPRD Banten diduga selain izin, banyak yang dilanggar kriterianya. Saya mendesak Pj Gubernur Banten untuk segera mengevaluasi dan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti persoalan ini," pungkasnya.
Diketahui klinik tersebut mulai beroperasi dengan gedung baru yang bersebelahan dengan gedung DPRD Banten sejak Januari 2020 silam. Fasilitas ini dibangun menyusul insiden salah satu anggota dewan yang tidak tertangani saat sakit akibat minimnya alat kesehatan di sana.
Menurut halaman pada sirup.lkpp.go.id setiap bulannya Sekretariat Dewan melaksanakan kegiatan pengadaan obat-obatan senilai lebih dari Rp5,9 juta untuk memenuhi kebutuhan klinik. (Rahmat Haryono)