“.. saling berbagi bukan hanya milik orang-orang kaya dan berada, bukan bagi mereka yang memiliki banyak kesempatan dan kemampuan, tetapi milik kita semua. Jika tak punya kemampuan, berbagilah dengan senyum dan doanya..”
-Harmoko-
Dalam beberapa hari terakhir ini, dapat kita saksikan sikap saling berbagi teraplikasikan dalam pembagian hewan kurban. Suasana kegotongroyongan tanpa membedakan latar belakang pendidikan, status sosial dan ekonomi, serta kepentingan politik ikut mewarnai prosesi penyembelihan hingga pembagian hewan kurban.
Itulah budaya bangsa kita yang sudah ada sejak dulu kala. Budaya ini tumbuh dan berkembang karena adanya kebersamaan, adanya kepentingan bersama.
Budaya saling berbagi untuk menumbuhkan dan meningkatkan empati sebagai esensi ibadah kurban hendaknya tidak hanya sesekali atau muncul setahun sekali, tetapi setiap kali, setiap saat, di mana saja dan kapan saja.
Kita optimis, sepanjang ada kemauan, budaya dimaksud dapat teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari, mengingat saling berbagi telah terpatri dalam jati diri bangsa kita sebagai identitas nasional sejak negeri ini didirikan.
Melalui saling berbagi dapat meningkatkan solidaritas dan kepedulian sosial untuk membangun kesejahteraan dan keadilan sosial sebagaimana tujuan negara kita didirikan untuk bersungguh-sungguh memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, baik lahir maupun batin.
Saling berbagi tidak hanya menyangkut harta benda, tidak sebatas uang dan barang. Berbagi ilmu dan pengetahuan, berbagi ide dan pemikiran, berbagi kesempatan berusaha dan berkarya, menjadi tidak kalah pentingnya.
Bahkan, acap dikatakan yang tidak memiliki harta benda, ilmu, dan sebagainya, berbagilah dengan senyum dan doanya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom 'Kopi Pagi' di media ini.
Karena itulah saling berbagi bukan hanya milik orang-orang kaya dan berada, bukan hanya bagi mereka yang memiliki banyak kesempatan dan kemampuan, tetapi milik kita semua.
Hanya saja bagi mereka yang memiliki banyak potensi untuk saling berbagi, tetapi tidak melakukannya, tak ubahnya jauh dari implementasi nilai-nilai luhur budaya bangsa, utamanya sila kedua dan kelima Pancasila.
Pada sila kedua menganjurkan kita semua untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. Sementara sila kelima mengajak kita untuk memberi pertolongan kepada orang lain demi bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial, satu di antara upaya yang patut dikembangkan adalah budaya saling berbagi.
Yang memiliki kelebihan, menyisihkan sebagian kelebihannya untuk menutupi kekurangan orang lain. Boleh jadi, bagi yang berlebih, sebagian rezeki yang disalurkan tidaklah seberapa, tetapi sangatlah berharga bagi orang lain.
Itulah makna berbagi dalam kehidupan sosial ekonomi untuk mempersempit kesenjangan yang hingga kini masih menganga.
Di sisi lain, di dunia politik, saling berbagi kini sedang menjadi sorotan. Tentu, bukan berbagi dalam konteks sosial ekonomi, tetapi bagi-bagi kursi jabatan, meski ujungnya jabatan itu hendaknya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Lebih-lebih jabatan politis dan strategis di institusi negara apa pun namanya, wajib digunakan memajukan ekonomi bangsa dan negaranya, bukan ekonomi dirinya, keluarganya, kelompoknya dan kerabatnya.
Karena itu yang perlu dikritisi bukan soal bagi-bagi kursi, tetapi kualifikasi. Apakah figur yang bersangkutan layak menduduki kursi dimaksud. Ini untuk mencegah politik balas jasa yang kebablasan, meski sulit terbantahkan kepada siapa kursi diberikan akan bergantung kepada ‘penguasa kursi’, bahkan penentuan kursi kabinet menjadi hak prerogatif presiden terpilih.
Berikutnya yang perlu dikritisi adalah mencermati dan mengontrol kinerja pejabat yang telah diberikan mandat, apakah jabatan digunakan untuk kesejahteraan rakyat atau kesengsaraan rakyat. Apakah kebijakan yang digulirkan berdampak positif bagi kemajuan bangsa atau kemunduran.
Bagi-bagi kursi jabatan usai pemilu, pilpres yang dilakukan oleh pemenang sebagai pemegang kekuasaan di pemerintahan mendatang, bukanlah hal baru dan tabu.
Sejak pemilu langsung yang mensyaratkan dibangunanya parpol koalisi untuk mengusung pasangan capres-cawapres hingga pasangan calon kepala daerah (cakada), berujung bagi-bagi kursi. Bisa disebut sebagai konsekuensi politik adanya koalisi.
Sejatinya saling berbagi itu baik, termasuk berbagi kekuasaan untuk memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagi kekuasaan untuk kebaikan, mempercepat kemajuan dan kejayaan negeri.
Menjadi tidak baik, jika kekuasaan yang didapatkan diselewengkan untuk memupuk kekayaan pribadi dan keluarganya, atau disalahgunakan untuk melindungi kepentingan dirinya, keluarganya dan kerabatnya, bukan untuk melindungi rakyatnya. (Azisoko)
Dapatkan berita pilihan editor dan informasi menarik lainnya di saluran WhatsApp resmi Poskota.co.id. GABUNG GRATIS DI SINI.