“Orang bijak akan senantiasa berpikir positif dengan menyingkirkan segala prasangka buruk. Tutur kata yang lebih santun, dan penuh etika. Tidak egois dalam mengambil keputusan.”
-Harmoko-
Sepertinya kian sulit membedakan mana pernyataan dan hasutan. Mana ajakan dan paksaan. Mana pula sindiran dan kebencian. Kesopanan, kesantunan dan keramah-tamahan yang merupakan jati diri bangsa, seolah telah tersisihkan oleh sikap saling mencaci.
Keadaban publik ditengarai mulai tererosi dalam kehidupan sehari-hari, utamanya di ruang publik, yang mencuat kemudian adalah sikap saling curiga dan penuh prasangka.
Di era tahun politik menyongsong Pileg dan Pilpres, kondisi seperti disebutkan tadi masih dapat dipahami karena meruncingnya beda dukungan dan pilihan.
Namun, kini Pemilu telah usai, ibarat laga sudah berakhir dan ditentukan siapa pemenangnya.
Menjadi renungan bagi kita semua, akankah sikap saling curiga, penuh prasangka, saling mencaci dan membenci akan berlanjut pada gelaran Pilkada serentak? Jawabnya bisa beragam, tetapi kita berharap situasi yang tidak mencerminkan keadaban budaya bangsa itu, tidak terulang.
Pilkada serentak yang digelar pada 27 November 2024 di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota se-Indonesia tersebut dapat berlangsung lebih baik dari Pileg dan Pilpres yang lalu.
Semakin baik dalam penyelenggaraan, maka menutup segala potensi munculnya gugatan dan ketidakpuasan peserta pilkada beserta tim suksesnya dan para simpatisan-pendukungnya.
Pilkada sebelumnya, tak terkecuali gelaran Pemilu lalu, hendaknya menjadi pengalaman sekaligus pelajaran untuk menuju perbaikan. Masa lalu sebagai pijakan untuk menutupi kekurangan dan mengembangkan kelebihan yang ada, bukan berarti kembali ke masa lalu.
Menuju pilkada yang lebih baik, perlu adanya perubahan sikap dari para elite, mulai ucapan, pernyataan, hingga perbuatan, sering disebut atraksi politik yang digulirkan.
Menuju pilkada yang berkualitas dan berintegritas tak cukup sebatas di atas kertas, tanpa realitas. Tak cukup melalui deklarasi Pilkada damai, pilkada menolak politik uang, pilkada yang menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan serta netralitas. Aksi nyata menjadi yang utama.
Para elite hendaknya meneladani dengan memberikan pendidikan politik kepada rakyat mengenai hak – hak politiknya dalam pilkada. Apa yang harus dilakukan, dan tidak boleh dilakukan.
Bagaimana menginspirasi dan memotivasi menjadi pemilih yang cerdas dan berkualitas. Bukan malah menjelek-jelekkan pesaingnya, bukan pula menebarkan keburukan lawan-lawan politiknya yang dapat berpotensi memecah belah masyarakat akar rumput.
Bukan menebar hasutan dan kebencian. Bukan juga menakuti – nakuti, mengintimidasi, apalagi menciptakan horor.
Memenangkan kontestasi bukan dengan menebar keburukan dan kebencian kontestan lainnya. Tetapi bagaimana menciptakan kebaikan bagi semuanya, bagi masa depan daerahnya dan masyarakatnya.
Banyak literatur menyebutkan perubahan yang paling bermakna dalam hidup adalah perubahan sikap.
Dengan sikap yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar. Tindakan yang tak akan menabrak norma hukum dan sosial, norma agama serta etika dan budaya, termasuk etika dalam berpolitik menuju demokrasi yang lebih berintegritas.
Tak kalah pentingnya, hendaknya para elite politik lebih bijak dalam menyikapi situasi terkini, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom 'Kopi Pagi' di media ini.
Dengan bersikap bijak (bijaksana) dalam kehidupan sehari-hari, maka seseorang telah membuat hal yang baik bagi dirinya dan orang lain. Lingkungan akan menjadi damai dan sejahtera karena tercapainya keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Sering dikatakan, kebijaksanaan erat kaitannya dengan keadilan. Dengan bersikap bijaksana akan menciptakan keadilan di masyarakat.
Orang bijak akan senantiasa berpikir positif dengan menyingkirkan segala prasangka buruk. Tutur kata yang diucapkan lebih santun, dan penuh etika.
Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu, apalagi mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Berupaya menyingkirkan sikap arogansi, kesombongan, keserakahan dan kebohongan. Tidak egois dalam mengambil keputusan.
Lebih toleran merespons lingkungan, termasuk dalam bermedia sosial.
Mari lebih bijak menyikapi situasi terkini. (Azisoko)
Dapatkan berita pilihan editor dan informasi menarik lainnya di saluran WhatsApp resmi Poskota.co.id. GABUNG GRATIS DI SINI.