Kedua petani perempuan tersebut juga mengatakan, hasil panen tersebut mampu meningkatkan ekonomi keluarganya sehingga berdampak baik terhadap kesejahteraan anak khususnya bidang pendidikan.
“Pendapatan ini paling utama untuk anak sekolah dan kebutuhan rumah tangga,” kata Fantri.
Sedangkan, Eta menceritakan dirinya bisa membeli sebuah ponsel untuk kebutuhan belajar anaknya yang tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi melalui hasil panen bibit hibrida kedua setelah mengikuti sosialisasi dari WVI.
“Hasilnya saya belikan lagi bibit (hibrida) 2 kilo dan belikan HP sesuai janji saya kepada WVI karena HP-nya dibelikan untuk anak kuliah,” kata Eta.
Team Leader INCLUSION Project WVI Sulteng, Kristian Edi Suseno menyampaikan, angka kemiskinan profesi petani merupakan paling tinggi di Sulteng dibanding profesi lainnya.
Maka dari itu, INCLUSION hadir untuk membantu meningkatkan pendapatan para petani tersebut.
Menurut Edi, dengan cara memberi pendampingan praktik sebagai petani jagung yang baik juga mampu meningkatkan kesejahteraan anak di kemudian hari.
“Kita kan sebenarnya mengarahkan proyek ini untuk mencapai peningkatan pendapatan petani miski."
Jadi, kalau petani bisa meningkat pendapatannya melalui praktik petani jagung yang baik, harapannya pendapatan itu dapat berdampak untuk kesejahteraan anak, untuk biaya pendidikan, kesehatan, dan lain-lain,” ujar Edi.
Kemudian Edi menuturkan bahwa kemiskinan yang terjadi pada petani di Sulteng ini terjadi akibat hasil produktivitas lahan jagung yang dikelola para petani ini tidak mencapai target nasional.
Umumnya, produktivitas petani jagung setidaknya menghasilkan 7 ton per herktare dari lahan yang tersedia. Namun, di Lore Tengah sendiri pada kala itu hanya menghasilkan paling besar 3 ton.
Selain itu, Edi juga menyebutkan, proyek yang sedang digarapnya ini menyasar ke kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, hingga penyandang disabilitas.