Kopi Pagi

Edukasi Budi Pekerti

Kamis 02 Mei 2024, 06:27 WIB

Budi pekerti harus dibiasakan, diajarkan, dan dikonsistenkan secara terus menerus hingga menjadi budaya. Dilakukan sejak usia dini yang dimulai dari lingkup keluarga sebagai awal pembentukan karakter, hingga masyarakat luas. Keteladanan para elite memiliki peran penting..

-Harmoko-

TAK bisa dihindari, di era serba digital ini pergaulan antarbangsa-antarnegara dapat dilakukan kapan saja. Komunikasi dapat dibangun setiap saat tanpa sekat, tanpa batasan waktu dan tempat, sepanjang ada hasrat.

Beragam informasi yang tiada henti mengalir begitu deras ke segala penjuru negeri, tentu memerlukan filter diri agar tetap selaras dengan jati diri kita. Muncul sepercik harapan, di era tekonologi komunikasi yang super canggih sekarang ini tidak lantas mengikis budi pekerti bangsa.

Budi pekerti luhur seperti bersikap jujur, amanah, rendah hati (tawadhu), santun, sabar dan senantiasa bersyukur, bukan saja wajib kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi wajib pula kita wariskan hingga ke anak cucu.

Itulah perlunya edukasi budi pekerti sejak dini kepada generasi penerus bangsa ini, baik melalui lembaga pendidikan formal di bangku-bangku sekolah, maupun pendidikan non formal dalam masyarakat.

Edukasi budi pekerti tak harus melalui kurikulum khusus (tersendiri), tetapi bisa dengan beragam cara dan pola, seperti menyelipkan dalam setiap kurikulum. Lebih-lebih dalam kurikulum Merdeka Belajar sekarang ini, yang menuntut adanya kreativitas sistem pengajaran, lebih memudahkan edukasi budi pekerti. 

Budi pekerti lebih menyangkut tentang perangai, perilaku dan akhlak setiap manusia. Tentu, perilaku yang baik dan benar, serta terpuji baik secara norma, agama dan etika.

Tak kalah pentingnya menjaga jangan sampai perilaku 'malu' terkikis oleh perkembangan zaman.

Malu hendaknya tersemai dalam kalbu untuk mengontrol perilaku. Mengapa? Jawabannya, karena budi pekerti yang tinggi adalah rasa malu terhadap diri sendiri sebagaimana pesan moral filsuf  dunia asal Yunani, Plato.

Selagi masih ada rasa malu, seseorang akan berusaha menjauhkan diri dari perbuatan melanggar norma hukum, agama, sosial dan etika. Itulah budi pekerti luhur yang berperan sebagai filter, penyeimbang keharmonisan hidup bermasyarakat.

Kolusi, korupsi dan nepotisme terjadi karena tiadanya rasa malu. Suap dan gratifikasi, penyalahgunaan wewenang, kekuasaan dan jabatan, serta merebaknya oligarki karena rasa malu belum sepenuhnya bersemai dalam diri sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku.

Malu berarti merasa tidak enak hati (hina, rendah dan sebagainya ) karena berbuat sesuatu yang yang kurang baik.

Menyongsong masa depan yang lebih baik lagi, rasa malu mutal perlu dibudayakan, yang penerapannya dimulai dari diri pribadi hingga tingat elite bangsa ini dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sebatas euforia belaka tanpa aksi nyata.

Keteladanan para elite negeri menjadi penting sebagai awal edukasi melalui perbuatan nyata untuk berani menolak suap, pungli, gratifikasi dan korupsi. Malu juga mengambil hak orang lain, malu memperdaya, malu mengakali, dan malu pula mengintimidasi.

Itulah edukasi rasa malu sebagai bagian dari esensi budi pekerti yang hendaknya kita gelorakan.

Keteladanan menjadi penting, ketimbang ajakan dan harapan, mengingat generasi era kini lebih menghargai model daripada pernyataan.

Mari kita hadirkan rasa malu di hati ketika hawa nafsu 'menjebak' berbuat keburukan karena godaan kewenangan dan kekuasaan, fasilitas dan jabatan.

Selain itu, mari kita pantulkan budi pekerti sebagai cermin ‘kepribadian’ bangsa kita sendiri. Dapat dikatakan beradab atau tidaknya suatu bangsa, dapat dilihat dari perilaku masyarakatnya, terutama aspek akhlak alias moral atau budi pekerti. 

Peran penting budi pekerti sebagai identitas dan budaya bangsa menjadikan para pendiri negeri ini sejak awal sangat konsen menjaga dan berupaya keras melestarikannya.

Ini dapat dipahami, mengingat, jika budi pekerti masyarakat luntur, maka luntur pula kepribadian suatu bangsa yang bisa menjadi faktor pendorong kemunduran suatu bangsa dan negara. 

Budi pekerti harus dibiasakan, diajarkan, dan dikonsistenkan secara terus menerus hingga menjadi budaya. Dilakukan sejak usia dini yang dimulai dari lingkup keluarga sebagai awal pembentukan karakter, hingga masyarakat luas seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom 'Kopi Pagi' di media ini.

Negara berkewajiban memfasilitasi, mendanai, dan merealisasikan program-program edukasi dan penguatan budi pekerti. Bukankah, membentuk akhlak mulia-budi pekerti luhur merupakan perintah undang - undang sebagaimana tersurat pada Pasal 31 Undan-Undang Dasar 1945. (Azisoko)

Tags:
Kopi PagiBudi Pekertiharmoko

Administrator

Reporter

Febrian Hafizh Muchtamar

Editor