“..sejarah mencatat, suatu bangsa akan menjadi besar karena moralitas bangsanya baik, unggul dan tangguh, sebaliknya bangsa akan menjadi lemah, bahkan runtuh, jika moralitas bangsanya juga ambruk,”
-Harmoko-
ETIK dan moral belakangan sering disuarakan, tak hanya oleh masyarakat kepada para elite politik, juga antar- elite politik di kalangan internal parpol itu sendiri.
Ada kehendak dari berbagai kalangan agar para elite politik, politikus negeri ini lebih mengedepankan etika dan moral dalam berkomunikasi serta memberikan pernyataan politik. Begitupun ketika melakukan atraksi politik untuk meraih kemenangan pemilu demi demi mencapai tujuan seperti diharapkan.
Kehendak ini mencuat jauh sebelum hajatan pilpres dan pileg, dan setelahnya, Klimaksnya, etik dan moral pun disinggung dalam dissenting opinion putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa hasil pilpres 2024.
Meski pendapat berbeda yang tidak akan menggugurkan sebuah keputusan, tetapi menjadi catatan sejarah perjalanan demokrasi di negeri kita.
Bicara etik (etika) adalah soal pantas dan tidak pantas, baik dan buruk menurut norma sosial, bukan norma hukum. Karenanya melanggar etika bukanlah pelanggaran norma hukum yang berujung kepada beragam sanksi sesuai tingkat kesalahannya.
Etika dapat disebut sebagai pengawas diri dalam menjalani profesinya. Etika politik, tentu etika terkait dengan masalah – masalah politik, atau perilaku politik yang harus dilakukan dan dipertanggungjawabkan pelaksana politik atau politikus.
Politikus dimaksud bukan hanya pengurus parpol, anggota dewan, juga mereka yang bekerja di dunia politik, termasuk penguasa eksekutif dalam jabatan politik seperti wali kota, bupati, gubernur hingga presiden.
Memang, belum ada aturan baku bagaimana perilaku politikus sebagaimana diharapkan, mengingat hingga kini belum ada kode etik politikus sebagaimana profesi lainnya seperti dokter, pengacara dan wartawan.
Yang jelas, etika politik yang tentunya merujuk kepada nilai-nilai bangsa menjadi penting diterapkan dalam perilalu politik para elit dan politikus. uatamnya dalam rangakian hajatan besar politik seperti pileg, pilpres, dan beberapa bulan lagi pilkada serentak..
Etika politik menjadi penting untuk melengkapi tindakan yang baik dan benar, di luar aturan legal formal. Untuk melakukan tindakan politik yang pantas dan tidak pantas, meski legal formal tidak melarangnya, tidak juga memerintahkannya.
Maknanya etika politik digunakan untuk membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan perlu dijauhi.
Itulah sebabnya sering dikatakan etika politik sebagai kewajiban hati nurani yang tidak difokuskan kepada apa yang baik dan benar secara abstrak, tetapi kepada apa yang baik dan benar secara konkret, faktual dan situasi aktual .
Tentunya dengan merujuk kepada apa yang menjadi kehendak masyarakat, apa yang diharapkan masyarakat. Tidak saja kebijakan yang menyangkut kepentingan rakyat, pro-rakyat, juga dalam menentukan calon-calon pemimpin masa depan.
Menjadi etik, jika kehendak publik menjadi rumusan kebijakan. Sebaliknya tidak beretika, jika mengabaikan, dan tidak bermoral, jika sangat bertentangan dengan kehendak rakyat.
Keputusan politik yang lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya,kerabatnya, sejawatnya, ketimbang kepentingan rakyat, cermin kebijakan yang tidak memperhatikan nurani.
Cukup beralasan, jika politik sering dimaknai kekuasaan yang serba elitis daripada kekuasaan berwajah populis yang bertujuan menyejahterakan dan memakmurkan rakyat.
Sering disebut pula politik identik dengan upaya meraih kekuasaan dengan cara apa pun, meski bertentangan dengan pandangan umum.
Repotnya pandangan umum itu bersifat tidak mengikat, tak ada sanksi hukum, karena dibangun melalui karakteristik masyarakat. Jadi lebih bersifat konvensi atau aturan moral karenanya tak jarang dilanggar. Mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah.
Lebih-lebih peluang dan akses menuju jalur kompetisi untuk meraih jabatan dan kekuasaan, sangat terbuka lebar, membuat rasa malu dan bersalah, diabaikan.Ini menyangkut soal etika dan moral.
Patut diingat, sejarah mencatat, suatu bangsa akan menjadi besar karena moralitas bangsanya baik, unggul dan tangguh, sebaliknya bangsa akan menjadi lemah, bahkan runtuh, jika moralitas bangsanya juga ambruk, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Saatnya membangun karakter generasi yang beretika dan bermoral melalui edukasi sejak dini. Tentu dimulai dari elite politik negeri ini, siapa pun yang menduduki jabatan politis, lebih meneladani perilaku etik dan moral bagi masyarakat. Bagaimana berbuat pantas dan sangat pantas. Baik dan sangat baik, serta berhati nurani tinggi. (Azisoko)