HARI-HARI ini umat Islam masih dalam suasana Idul Fitri, hari yang menandai kesucian jiwa setelah menahan hawa nafsu selama ibadah puasa Ramadan. Dalam masa-masa itu, umat Islam menahan amarah, menjauhi sifat amarah, dendam, iri dengki, semua diabdikan kepada Allah swt.
Dengan gemblengan mendalam dalam ibadah Ramadan, para ustaz dan ulama menyerukan agar apa yang didapat di bulan suci Ramadan sebisa mungkin dilanjutkan selepas Idul Fitri.
Di hari raya umat Islam tersebut, kita ketahui juga, bahwa menjadi saat untuk saling memaafkan, menghilangkan dendam, amarah yang terpendam selama ini.
Dengan pengantar ini, maka akan sangat baik kalau semangat Idul Fitri juga diartiakan menjadi saat untuk menghilangkan dendam antar tokoh bangsa ini, baik tokoh politik, tokoh birokrasi, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Terutama bagi tokoh politik sebagai pemegang kunci perjalanan bangsa ini, kiranya sudah sangat paham makna Idul Fitri dan gemblengan Ibadah Ramadan. Maka kalau makna-makna tersebut diamalkan akan sangat berguna untuk mengurangi tensi ketegangan politik yang membara lagi.
Judul di atas, ‘Semangat Idul Fitri Memutus Kutukan Keris Empu Gandring’rada bombastis, tapi memang dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lugas tentang perjalanan bangsa ini.
Di sini, yang dimaksud kutukan Keris Empu Gandring, lebih pada makna konotatif, tidak seperti dalam sejarah Kerajaan Singosari, dari Tunggul Ametung, Ken Arok, hingga era Kertanegara.
Di era itu, Keris (buatan) Empu Gandring digunakan Ken Arok untuk mencari kekuasaan dengan diliputi cara nabok nyilih tangan, untuk membunuh Tunggul Ametung, dan kemudian sejarah keris itu menimbulkan dendam tujuh turunan.
Perjalanan negara Republik Indonesia telah silih berganti kepemimpinan, dalam pergantian kepemimpinan itu diwarnai gejolak politik yang sedikit banyak diwarnai dendam atau memunculkan dendam baru dalam setiap perdantian kepemimpinan. Dalam istilah pakar filsafat Rocky Gerung, di RI ini ada antrologi dendam mengiringi sejarah bangsa.
Pertama di era Presiden Soekarno, beliau jatuh setelah pergantian kekuasaan yang sangat panas, dan sebelumnya timbul partumpahan darah luar biasa, yakni peristiwa 1965. Kutukan keris empu gandring pertama muncul, karena pergantian kekuasaan yang suasan politik super panas.
Bung Karno digantikan oleh Presiden Soeharto, Presiden ke-2 RI ini mengakhiri jabatan dipaksa oleh Gerakan Reformasi, dia digantikan oleh Wapres BJ Habibie, dari segi pergantian itu berjalan konstitusional. Namun kondisi politik yang mengiringi menimbulkan amarah, dan dendam baru dari berbagai pihak.
Pergantian Presiden Habibie kepada Presiden Gus Dur, relatif tidak muncul dendam, kalaupun ada relatif kecil. Nah, setelah Presiden Gus Dur, ini memunculkan dendam baru, karena dia diturunkan paksa lewat sidang Umum MPR, dengan dugaan korupsi Brunei Gate.
Lantas, Gus Dur digantikan oleh Megawati Soekarnoputri, di masanya digelar Pilpres langsung pertama. Megawati dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Entah persoalan apa, pergantian ini juga menyisakan aroma dendam, hingga kini antara Mega dan SBY belum akur.
Lantas, Pilpres 2014, Jokowi terpilih menggantikan SBY. Pergantian ini relatif tidak menghadirkan dendam, bahkan anak SBY, yakni AHY masuk ke dalam Kabinet Jokowi.
Nah, setelah Presiden Jokowi hendak mengakhiri masa jabatan, terjadi ketegangan dengan partainya, yakni PDIP, gegara Jokowi menjadikan anaknya, Gibran Rakabuming Raka maju jadi cawapres Prabowo. Timbul kemarahan PDIP, sebab sejak dari bawah Jokowi selalu didukung penuh, tapi pada akhirnya malah ‘mengkhianati’ PDIP. Dendam baru muncul, PDIP marah.
Nah, kalau umat Islam dan para tokoh politik di negeri ini menghayati makna ibadah Ramadan dan makna Idul Fitri kiranya tidak akan muncul kejadian-kejadian pengkhianatan dan dendam politik seperti kutukan keris Empu Gandring, Dengan kedewasaan berbangsa dan bernegara, ke depan dengan semangat Idul Fitri kita harus memupus munculnya dendam-dendam baru. (**)