Tak Cukup dengan Kata Maaf

Senin 15 Apr 2024, 09:06 WIB

“Dalam kata maaf itu terdapat janji untuk memperbaiki diri. Janji untuk berbuat lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan, apalagi kesalahan yang sama persis..”
-Harmoko-

 
MELALUI kolom ini, Kopi pagi (Senin, 17 Mei 2021) mengangkat tema: Maaf tak sebatas ucapan. Dalam ulasannya, Pak Harmoko mengatakan bahwa kata maaf sangatlah mudah diucapkan, meski tak sedikit yang sangat berat hati untuk meminta maaf atau pun memberi maaf, lebih-lebih menindaklanjuti dengan amal perbuatan.

Pesan yang hendak disampaikan adalah maaf itu perlu ada tindak lanjut melalui aksi nyata. Mengapa? Jawabnya karena sesungguhnya dalam kata maaf itu terdapat janji untuk memperbaiki diri. Janji untuk berbuat lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan.

Maknanya, seperti diajarkan para leluhur, memperbaiki adalah upaya yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, apalagi sama persis. 
Sering dikatakan, hanya keledai yang terperosok ke dalam lubang sama, meski sang keledai pun, tentu tidak berkehendak demikian.

Jika memiliki kemampuan tentu akan menghindar. Lebih-lebih bagi kita, makhluk yang memiliki derajat sangat tinggi.
Upaya memperbaiki diri, tidak  saja dalam ucapan, ungkapan, dan tulisan. Tetapi yang lebih utama sikap nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Mengapa perlu memperbaiki diri? Jawabnya, maaf itu tidak menghapus kesalahan. Maaf tidak mengubah kesalahan menjadi kebenaran. Kesalahan tetap kesalahan, kebenaran adalah tetap kebenaran.

Saling memaafkan adalah kesadaran bersama untuk melupakan kesalahan yang sudah terjadi. Ke depan, sama-sama menjaga dan berupaya mencegah terjadinya kesalahan.

Kita menyaksikan hari-hari terakhir  ini, dalam suasana Hari Raya Idul Fitri 1445 H/2024 M, kata maaf memenuhi ruang publik, baik di dunia maya maupun alam nyata. Tak terkecuali para elite politik dan tokoh bangsa yang saling berkunjung.

Mengulurkan tangan untuk meminta maaf  dan menerima jabat tangan tanda memaafkan merupakan budaya bangsa kita sejak dulu kala yang hendaknya terus kita pelihara.

Saling memaafkan untuk melupakan segala macam gesekan dan perselisihan yang sempat terjadi saat kompetisi pemilu 2024, baik pilpres maupun pileg.

Dalam kehidupan politik yang penuh dinamika, dikenal istilah “Tak ada lawan abadi”. Tahun lalu hingga tahun ini, sebelum pemungutan suara 14 Februari 2024, menjadi “lawan dan rival”, tetapi kini hendaknya tidak ada lagi lawan, yang ada adalah kawan seperjuangan membangun masa depan bangsa dan negara.

Itulah kehidupan yang serba neka dan penuh dinamika yang seyogyanya tak ada lagi dendam, apalagi ‘dendam politik’.
Yang hendak kami katakan, segala persoalan sejatinya bisa diawali penyelesaiannya dengan kata maaf dan saling memaafkan. Mulai dari lingkup terkecil keluarga, lingkungan RT/TW, kelurahan, pemda hingga istana.

Ini perlu keteladanan dari para elite politik, yang tidak terhenti pada aktivitas saling berkunjung, saling meminta dan memberi maaf, tetapi tindakan konkret setelah membangun silaturahmi.

Lagi pula, derajat moral seseorang, tak terkecuali pemimpin siapa pun dia akan tercermin dari tiga hal, yakni lisan (ucapan), perbuatan dan selarasnya ucapan dengan perbuatan. 
Tentu, ucapan dan perbuatan yang baik. Memberikan inspirasi serta memotivasi masyarakat memecahkan segala persoalan bangsa. Membangun, bukan merusak. Menyatukan, bukan memecah-belah persatuan. 

Menyadari adanya kekurangan dan kelemahan, bukan selamanya melebih-lebihkan dengan menonjolkan kekuatan dan kehebatan. Bukan pula secara terus menerus menjelek-jelekkan dan mencari-cari kesalahan orang lain, sementera lupa atas kesalahan dan kekurangan diri sendiri.

Bukankah saling memaafkan itu dimaksudkan untuk menata masa depan menjadi lebih baik lagi, dengan melupakan beragam persoalan masa lalu yang menyertainya.
Keteladanan semacam ini yang hendaknya dipertontonkan kepada publik sebagai tuntunan, di era transisi seperti sekarang ini.

Terpenting, setelah berbuat salah dan khilaf sesegera mungkin meminta maaf dan memperbaikinya melalui perbuatan nyata, bukan sebatas retorika.

Ini perlu diwujudkan oleh setiap orang, utamanya tokoh bangsa, elite politik dan pejabat negeri melalui keteladanan. 
Bukan sebatas komentar yang tidak diikuti dengan perbuatan seperti sering dikatakan dengan istilah “ perbuatan tak sesuai ucapan” atau “Ucapan tidak sepadan dengan perbuatan” bisa juga “Tidak satunya kata dengan perbuatan”. (Azisoko).

News Update