ISU “kawin paksa” BTN Syariah dan Bank Muamalat terus bergulir. Kehendak kawin paksa ini lebih merupakan keputusan subyektif pemegang kekuasaan, baik Menteri BUMN, Kemenag, dan OJK sebagai pengawas perbankan dan industri keuangan.
Mungkin sebagian komisioner Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sendiri mengambil sikap, “yang penting jabatan saya aman”. Mereka berhadapan dengan Menteri Agama yang signifikan mempengaruhi kinerja BPKH.
Kawin paksa ini juga menjadi tanda tanya besar. Kenapa Unit Usaha Syariah (UUS) BTN Syariah tidak digabungkan saat Bank Syariah Mandiri disatukan dengan BRI Syariah dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).
Kementerian BUMN mempunyai alasan untuk menyergah pertanyaan ini. Tapi apapun alasan itu, tidak digabungkannya UUS BTN Syariah dengan bank Syariah “plat merah” menunjukkan ada masalah tersendiri dan memberi keuntungan atau manfaat kepada kalangan tertentu.
Saat itu terdengar aspirasi publik bahwa dikehendaki satu bank Syariah yang khusus melayani properti, khususnya pembiayaan perumahan bagi muslim yang tidak ingin terkena riba. Kini BSI mempunyai asset Rp 354 triliun. Sementara jika BTN Syariah digabung dengan Bank Muamalat, asetnya menjadi sekitar Rp114,6 triliun sebagai pejumlahan aset BTN Syariah Rp48,41 triiun dengan aset Bank Muamalat Rp66,19 triliun.
Kini jumlah pembiayaan BTN Syariahnya mencapai Rp35,79 triliun. Pembiayaan bermasalahnya sendiri mencapai 3,07 persen, meningkat dibanding September 2022 yang hanya 0,04 persen. Sedangkan jumlah pembiayaan Bank Muamalat sekitar Rp 21,7 triliun dengan pembiayaan bermasalah 2,18 persen menurun dibanding September 2022 yang berposisi 2,35 pesen. Maka total kinerja pembiayaan setelah kawin paksa menjadi Rp57,5 triliun.
Jika dilihat dari angka-angka yang beredar di publik selain data di atas, penggabungan ini menyimpan berbagai masalah. Misalnya penilaian korporasi, apakah berdasarkan nilai pasar atau nilai buku. Jika dinilai menurut harga pasar, maka berdampak pada pajak.
Sedangkan nilai korporasi berdasarkan buku, membutuhkan persetujuan Menteri Keuangan. Baik nilai pasar maupun nilai buku membutuhkan konsultan keuangan dan managemen yang menyita biaya tersendiri. Padahal ini tidak dikehendaki oleh kedua belah pihak.
Logikanya, di tengah perekonomian seperti sekarang, kenapa harus mengeluarkan biaya yang tidak diperlukan, yang manfaat dan risikonya membutuhkan kajian lebih mendalam. Di sisi lain kecukupan modal yang menurun akan mewajibkan para pemegang saham untuk menyetor.
Bank Muamalat kini kecukupan modalnya mencapai 29 persen akan menjadi sekitar 17 persen setelah kawin paksa. Dalam pendekatan komersial, turunnya kecukupan modal ini tidak memberi daya tarik bisnis dan mengurangi daya ekspansif korporasi sehingga membutuhkan injeksi modal. Artinya BPKH harus merogoh kocek lagi. Padahal hasil optimalisasi dana haji makin menurun yang diikuti dengan meningkatnya ongkos naik haji (ONH).
Sudah sejak lama saya menyampaikan, suatu saat BPKH akan mengalami mismatch. Artinya hasil total optimalisasi tidak mencukupi lagi untuk mensubsidi ONH. Sementara masyarakat yang kurang mampu akan menutup ONH, lalu menarik dananya disertai dengan kewajiban BPKH membayarkan hasil opitimalisasi dana jamaah yang bersangkutan.
Dalam ungkapan yang lain, kawin paksa BTN Syariah dan Bank Muamalat akan membebani BPKH, yang berarti membebani umat Islam yang ingin naik haji. Padahal penggabungan ini juga bermaksud menghilangkan jejak pembiayaan bermasalah, sekaligus memberi manfaat bagi konsultan. Masalah lainnya adalah masalah akulturasi korporasi BTN Syariah dan Bank Muamalat.
Pengalaman Bank Mandiri, Bank Permata, dan BSI yang ke semuanya merupakan hasil penggabungan, menunjukkan tidak mudahnya menyelesaikan masalah intenal, termasuk kewajiban ”mencuci piring” atas berbagai produk pembiayaan. Di tengah iklim politik tidak pasti seperti sekarang ini, rasanya bijaksana jika rencana kawin paksa ini dibatalkan.
Lalu dihitung kembali secara kualitatif dan kuantitatif tentang manfaat dan risikonya. Apalagi jika berdampak menggerus lagi dana BPKH, yang berarti memberi keuntungan bagi pihak tertentu. Saya pernah menyampaikan hal ini beberapa waktu lalu. Dibutuhkan berbagai skenario untuk memperbesar bank syariah di Indonesia. Dalam hal ini Komite Nasional Ekonomi dan Industri Syariah penting membuat peta jalan yang realistis sehingga jumlah penduduk muslim yang 87,2 persen relevan dan signifikan dalam masalah posisi dan peranan ekonomi Syariah di Indonesia.
Penulis: Ichsanuddin Noorsy