Utang Pemerintah

Kamis 07 Mar 2024, 06:19 WIB
Bank Indonesia.(Ist)

Bank Indonesia.(Ist)

Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) geram dengan kebijakan pemerintah yang belum juga membayar utang minyak goreng Rp 344 Miliar. 

Utang pemerintah itu terkait pembayaran selisih harga minyak goreng alias rafaksi dalam program satu harga pada 2022.

Padahal sudah hampir dua tahun berlalu, pemerintah belum juga mau membayar utang tersebut. Karena itu, mereka menilai tidak ada itikad baik dari pemerintah untuk menyelesaikan utangnya. 

Pasalnya, hingga kini prosesnya masih sebatas pembahasan jumlah total yang harus dibayar pemerintah kepada pengusaha minyak goreng. 

Kekesalan muncul karena pada rapat koordinasi terbatas (rakornas) antar kementerian terkait pihak peritel tidak dilibatkan. Padahal besaran total utang yang diterimanya bukanlah menjadi prioritas utama. 

Asalkan pemerintah juga mau transparansi proses perhitungannya. Seperti diketahui, program itu diluncurkan pada 19 Januari 2022 lalu sebagai penugasan kepada produsen minyak goreng dan Aprindo untuk menjual minyak goreng murah saat harga komoditas itu mahal.

Saat itu semua pengusaha diminta menjual minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter, sementara itu harga minyak goreng di pasaran berkisar di Rp 17.000-20.000 per liter. 

Nah selisih harga atau rafaksi itu dalam Permendag 3 disebut akan dibayarkan pemerintah. Masalah muncul ketika Permendag 3 digantikan dengan Permendag 6 tahun 2022. 

Akibatnya aturan baru itu membatalkan aturan lama soal rafaksi yang ditanggung pemerintah. Padahal, seharusnya utang pemerintah kepada pengusaha tetap harus dibayarkan.

Akibat kebijakan program tersebut para pengusaha retail kapok dan mulai tidak percaya dengan kebijakan pemerintah. Pengusaha kerap diminta bantuannya jika pemerintah sudah kelabakan terkait harga dan penyaluran sembilan bahan pokok (sembako).

Namun dalam perjalanannya para pengusaha ditinggalkan jika targetnya sudah tercapai. Kini saat kelangkaan beras di pasaran terjadi, pemerintah kelabakan. Saking paniknya harga beras bahkan terus melambung tak terkendali dan yang disalahkan dampak El Nino.

Sementara pengusaha ritel menolak menurunkan harga jual beras, karena harga beras premium dari produsen swasta mengalami lonjakan harga. Di sisi lain, para peritel tetap menjual beras sesuai dengan ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET). 

Hal itu membuat mereka merugi hingga pengadaan menjadi terhambat. Karena itu ada yang salah dengan kebijakan pemerintah. Jangan anggap sepele distribusi dan ketersediaan sembako di pasaran, karena yang dirugikan adalah masyarakat luas.

Pemerintah jangan menunggu ada permasalahan di lapangan baru bergerak seperti pahlawan kesiangan. Masyarakat sudah bosan dengan kondisi sembako yang tidak pernah tuntas diurus pemerintah, karena setiap memasuki hari besar nasional harga sembako dipastikan melonjak. **

News Update