Kopi Pagi Harmoko: Pantulkan Budaya Bangsa

Kamis 07 Mar 2024, 05:40 WIB

“Mari pantulkan budaya kita dengan memberi senyuman, salam dan sapaan.

Bersikap sopan dan ramah kepada orang lain, siapa pun dia adanya, di ruang

maya atau nyata. Bukan budaya memaksa.”

-Harmoko-

 

Di negara demokrasi, setiap orang berhak menyampaikan aspirasi dengan caranya sendiri. Setiap orang berhak pula atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, sebagaimana diatur dalam pasal 28e UUD 1945.

Hanya saja kebebasan dimaksud bukannya tanpa batas. Terdapat etika dan norma yang wajib dipatuhi, setidaknya menjadi rujukan dalam berkomunikasi dan beratraksi. Batasan kebebasan ini bersifat universal. 

Di negara super modern yang mengusung kebebasan, tetap saja terdapat batasan-batasan, utamanya menyangkut hal-hal yang bersifat privacy, begitu terlindungi.

Apalagi negeri kita yang sebelum kelahiran pun sangat menjunjung tinggi adat budaya seperti sopan santun dan ramah tamah sebagai identitas bangsa. Belum lagi kepatuhan terhadap norma sosial yang berlaku di lingkungannya.

Nilai – nilai etika dan norma inilah sejatinya sebagai filter ketika beraksi, berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain sehingga terhindar dari miskomunikasi dan disharmoni. Itulah perlunya menyesuaikan diri dengan situasi, sering disebut menyelaraskan keadaan. 

Sebagai warga negara, dimanapun lingkungan kita berada, perlu menyelaraskan diri. Dalam menjalankan tugas, hak dan kewajibannya menyesuaikan dengan porsinya, mengikuti etika dan norma yang berlaku di lingkungan ia berada.

Menyelaraskan keadaan, dalam konteks kebebasan berpendapat berarti dituntut kemampuan menempatkan diri, di mana kita berada, kapan harus berbicara, menyampaikan aspirasi, mengkritisi, apa yang layak disampaikan, kepada siapa pula disampaikan agar tidak salah arah dan sasaran.

Kapan pula harus bergerak dan bertindak demi kebaikan dan kemajuan, bukan kemunduran, apalagi menciptakan keburukan. Sebaliknya, bagi siapa pun yang menerima kritikan, tudingan adanya pelanggaran, dugaan kecurangan, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu, perlu bersikap bijak, berjiwa besar dan berlapang dada.

Pepatah mengatakan “Sukeng tyas yen den hita”, jadilah pribadi yang bersedia menerima kebenaran yang datangnya dari siapapun, meskipun dari masyarakat awam, rakyat kecil, rakyat miskin sekalipun. Lebih – lebih dari mereka yang memiliki kompetensi tinggi, setelah melalui beragam kajian mendalam.

Yang hendak saya katakan adalah “jangan melihat siapa yang berkirim pesan, tetapi cermati isi pesan yang disampaikan.”

Hal lain yang patut menjadi komitmen bersama dalam kehidupan sekarang ini adalah menutup rapat-rapat upaya pemaksaan kehendak dari kelompok dan kekuatan manapun.

Atraksi politik pasca- pemilu, apapun bentuk dan polanya, harusnya menjauhkan dari upaya pemaksaan kehendak baik secara tersembunyi maupun terang - terangan. Baik melalui intimidasi dan provokasi maupun menggalang kekuatan dengan pemaksaan dan kekuasaan.

Perilaku semacam ini tak selaras dengan adat dan budaya bangsa. Tak sesuai dengan nilai-nilai luhur falsafah bangsa kita. Sebut saja, dari 36 butir sebagai penjabaran 5 asas Pancasila, sebagian besar mengajarkan bagaimana hendaknya kita bertutur kata, berperilaku dan perbuatan yang menjunjung tinggi etika dan norma.

Di antaranya saling menghargai dan menghormati, menghargai pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak, menghargai persamaan derajat, tenggang rasa, tidak semena-mena dan masih banyak lagi.

Yang intinya menata hubungan yang harmonis penuh kebaikan, bukan keburukan. Tidak saling menjatuhkan dan mencari pembenaran sendiri. Tidak memaksakan kebenaran dirinya sendiri kepada orang dengan segala cara.

Membangun komunikasi seperti ini yang hendaknya tercermin dalam kehidupan sehari-hari, tak hanya di dunia nyata, juga di dunia maya yang penuh dinamika, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Kehidupan itu dinamis seperti roda yang terus berputar. Begitu juga dinamika kehidupan politik pasca- pemilu yang serbaneka.Namun, di tengah keberagaman kepentingan, satu hal yang tidak bisa ditolak adalah perputaran waktu, ada masanya dan saatnya.

Karenanya ada pepatah yang menyebutkan hendaknya kita “Mengikuti cakra manggilingan”.  Pepatah ini mengajarkan kita harus menerima segala hal yang terjadi dalam hidup, apakah kebahagian karena kesuksesan atau kesedihan karena kegagalan.

Mengapa demikian? Jawabnya karena semuanya memiliki waktu yang sudah ditentukan, sebut saja ‘roda kehidupan’ atau ‘putaran nasib’.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, dalam bermasyarakat, lebih luas lagi berbangsa dan bernegara, kita tidak bisa memaksakan kehendak untuk mendapatkan apa yang diinginkan pada waktu yang kita tentukan sendiri.Sabar menunggu waktu yang tepat adalah pilihan bijak.

Mari pantulkan budaya kita dengan memberi senyuman, salam dan sapaan. Bersikap sopan dan ramah kepada orang lain, siapapun dia adanya, di ruang maya atau nyata. Bukan budaya memaksa. (Azisoko).

Berita Terkait

Kopi Pagi Harmoko: Sareh – Sumeleh

Kamis 14 Mar 2024, 10:34 WIB
undefined

Kopi Pagi Harmoko: Buah Rekonsiliasi

Senin 18 Mar 2024, 11:36 WIB
undefined

Kopi Pagi Harmoko: Budaya Berbagi

Kamis 28 Mar 2024, 11:05 WIB
undefined

News Update