Asisten Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Ciput Eka Purwiyanti.(Poskota.co.id/Pandi Ramedhan)

Jakarta

Kemen PPPA Sebut Kasus Perdagangan Anak Marak Terjadi Karena Kurangnya Literasi Digital

Minggu 25 Feb 2024, 17:40 WIB

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebut kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) khususnya korban anak-anak, marak terjadi karena kurangnya literasi digital.

Asisten Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Ciput Eka Purwiyanti mengatakan dalam perkara TPPO korban anak ini, para pelaku mampu memprofiling calon korban yang akan dibujuk untuk diambil maupun dibeli anaknya.

"Dan ini balik mereka sudah mempergunakan media sosial. Jadi sebetulnya kuncinya, yang pertama itu literasi digital juga. Itu dulu yang harus kita utamakan," katanya kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Selain itu, dalam kasus ini, Ciput menyebut butuh peran dan partisipasi masyarakat setempat dan pemerintah.

Ciput mengatakan, satu upaya yang perlu dilakukan, yakni dikukuhkan kembali kearifan lokal, dalam hal ini warga yang peduli peduli dan guyub terhadap sesama.

Dalam hal ini pula, dibutuhkan peran pemerintah agar masyarakat kembali guyub sehingga peduli terhadap sesama.

"Nah ini upayanya sebetulnya termasuk pencegahan dari hulu. Jadi perempuan rentan yang putus sekolah tapi dia harus memiliki keterampilan baik secara ekonomi," ucapnya.

"Maka ada desa harus memiliki program untuk meningkatkan kewirausahaan perempuan," ujarnya melanjutkan.

Selain itu, pemerintah juga harus dapat membuka mata masyarakat khususnya perempuan agar dapat melek soal pengetahun kesehatan reproduksi.

"Saya khawatir, ini adalah mereka korban-korban kehamilan di luar nikah. sebagaimana beberapa kasus yang sudah diungkap oleh Polda Metro Jaya beberapa tahun belakangan. Para ibu muda ini adalah korban juga sebetulnya," tukasnya.

Ciput membeberkan, korban TPPO kategori anak-anak pada 2019, tercatat ada sebanyak 111 anak yang dilaporkan.

"Kemudian tertinggi itu di tahun 2021, di masa pandemi, justru paling tinggi ada 406 anak korban TPPO. Dan tahun 2022 sebanyak 119 dan tahun lalu (2023) 206 anak," ungkapnya.

Ciput berujar bahwa korban TPPO anak perlu penanganan khusus. Anak dari korban perdagangan semaksimal mungkin tetap mendapat hak asuh dari keluarga terdekat.

Di samping itu, kata Ciput, jika orang tua si anak tidak mampu untuk mengurus buah hatinya karena faktor ekonomi, sebaiknya si anak baru bisa diputuskan agar bisa diadopsi orang lain.

"Tetapi memang dipastikan pengasuh pengganti itu harus keluarga lengkap, kemudian seagama, dan seterusnya yang sudah diatur UU Perlindungan Anak maupun UU Pengasuhan," jelas Ciput.(Pandi Ramedhan)

Tags:
perdagangan anakKasus TPPOKemen PPPAliterasi digital

Pandi Ramedhan

Reporter

Febrian Hafizh Muchtamar

Editor