Negara dapat dikatakan bersikap adil jika tidak membeda-bedakan perlakuan
terhadap seluruh rakyat Indonesia di tengah perbedaan yang ada. Setiap warga
negara diperlakukan sama sesuai porsinya.
Jangan karena beda dukungan pada pilpres, karena bukan satu gerbong
dukungan, lantas membedakan perlakuan. Jika ini terjadi nanti, bukan kebijakan
pro keadilan yang dijalankan, tetapi ketidakadilan yang akan memperlebar
jurang kesenjangan.
Sementara, kita tahu kesenjangan masih menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintahan baru mendatang. Kesenjangan sosial terjadi bukan karena
masalah ketimpangan kekayaan, juga pendapatan masyarakat.
Menurut laporan World Inequality Report (WIR), tercatat 1 % penduduk
terkaya di Indonesia menguasai 30,16 % total aset rumah tangga secara nasional
pada tahun 2022. Kelompok 10 % terkaya di Indonesia punya 61,28 % total aset
rumah tangga secara nasional. Dengan pendapatan Rp 333,77 juta per tahun.
Sementara kelompok 50 % terbawah hanya memiliki 4,5 % dari total kekayaan
rumah tangga nasional. Memiliki pendapatan Rp 25,11 juta per tahun.
Data yang sudah terpublikasi ini memang masih perlu didalami lagi kini,
mengingat beragam program pembangunan sudah dilakukan yang tujuan
utamanya mengentaskan kemiskinan seperti alokasi dana desa yang jumlahnya
mencapai puluhan triliun rupiah. Belum lagi sejumlah bantalan sosial yang telah
digulirkan.
Yang terpenting adalah upaya terus menerus mengentaskan kemiskinan dan
mempersempit beragam ketimpangan dengan mengikis faktor penyebabnya.
Kesenjangan sosial dapat terjadi karena faktor ” ketidakadilan” dalam
memberikan kesempatan berusaha karena praktik monopoli, kolusi, korupsi dan
nepotisme yang berakibat kian tersingkirnya rakyat kecil, seperti dikatakan Pak
Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Boleh jadi, ketimpangan kian melebar, jika elit kaya ikut ‘memainkan’ aturan
yang menguntungkan mereka, berupaya memblokir kebijakan yang dapat
merugikan mereka.
Sementara itu kita tahu, jurang kesenjangan yang tak kunjung teratasi, dapat
menimbulkan kecemburuan sosial, frustasi sosial hingga disintegrasi sosial.
Kita berharap pemerintahan hasil pilpres 2024, siapa pun yang terpilih menjadi
presiden, semakin masif menelorkan kebijakan yang pro keadilan. (Azisoko).