MENJELANG akhir tahun lalu kita dikejutkan dengan berita pembunuhan 4 anak oleh ayah kandungnya. Panca Darmansyah membunuh ke empat anaknya di rumah kontrakannya di Gang Roman, Jalan Kebagusan Raya, Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada 3 Desember 2023.
Aksi sadis Panca dipicu rasa cemburu pada istrinya yang diduga berselingkuh dengan pria lain. Namun diduga Panca kerap melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) terhadap istrinya.
Panca kini sudah menjadi tersangka dan ditahan polisi. Ia terancam hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Kasus KDRT sepertinya kian merebak di Indonesia. Bahkan baru-baru ini terungkap ada oknum pegawai BNN yang kerap menganiaya istrinya sejak tahun 2021. Oknum tersebut sudah dilaporkan polisi dan sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Mengapa KDRT terjadi dan mengapa korbannya kebanyakan ibu (wanita) dan anak-anak?
Stereotip gender dan ketidaksetaraan dalam kekuasaan seringkali memainkan peran dalam dinamika KDRT, sehingga membuat perempuan dan anak-anak lebih rentan terhadap kekerasan.
KDRT bisa terjadi karena berbagai faktor, seperti masalah komunikasi yang buruk, stres, ketidaksetaraan kekuasaan, masalah keuangan, atau masalah psikologis. Hal ini kompleks dan seringkali melibatkan kombinasi faktor-faktor tersebut.
Akibatnya, kekerasan digunakan sebagai cara untuk mengekspresikan rasa frustasi pelaku. Sosial dan budaya juga dapat memainkan peran dalam memperkuat perilaku tersebut.
Tapi penting untuk disadari, bahwa tidak semua suami terlibat dalam KDRT, dan setiap situasi bisa unik dengan penyebab yang berbeda. Pendidikan, kesadaran, dan dukungan sosial dapat membantu mengurangi insiden KDRT.
Untuk mencegah KDRT harus melibatkan upaya lintas sektor. Upaya yang bisa dilakukan diantaranya dengan meningkatkan kesadaran tentang KDRT dan dampaknya, serta menyediakan informasi tentang cara mendapatkan bantuan.
Perlu juga dilakukan pendidikan gender untuk mengatasi ketidaksetaraan dan mengubah norma sosial yang mendukung KDRT, menyediakan dukungan psikososial bagi individu yang berisiko atau telah menjadi korban KDRT.
Kita juga bisa membantu pasangan untuk mengembangkan keterampilan komunikasi yang sehat untuk mengatasi konflik tanpa kekerasan.
Yang paling utama adalah dengan menetapkan dan menegakkan hukum yang melindungi korban KDRT serta memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku, menyediakan layanan bantuan, tempat perlindungan, dan sumber daya bagi korban KDRT.
Semua itu bisa dilakukan melalui kolaborasi antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat, agar akar masalah KDRT bisa diatasi.
Kita harus membangun masyarakat yang mendukung dan mempromosikan norma-norma yang tidak mendukung kekerasan serta mengedepankan nilai-nilai kesejahteraan keluarga.
Harus diingat, bahwa pencegahan KDRT memerlukan kerjasama berkelanjutan dari berbagai pihak dan melibatkan perubahan budaya dan sosial dalam jangka panjang.