TOLERANSI menjadi kata yang acap diperbincangkan setiap perayaan hari besar keagamaan, termasuk Natal dan Tahun Baru (Nataru) dan lainnya.
Para elite politik tak ketinggalan menekankan perlunya membangun toleransi sesama umat beragama.
“Yang lebih penting lagi, toleransi hendaknya bukan menjadi kata yang acap diperbincangkan, tetapi diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya diperdebatkan, tetapi diterapkan,“ kata mas Bro mengawali obrolan warteg bersama sohibnya,Heri dan Yudi.
“Setuju, yang penting adalah praktik kehidupan secara nyata. Buat apa sering dibahas kalau jauh dari realitas,” kata Heri.
“Toleransi juga bukan hanya menyangkut soal beragama, tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Artinya dalam semua sektor kehidupan,” tambah Yudi.
“Toleransi sejatinya perwujudan dari sikap saling menghormati, menghargai sebagaimana diajarkan oleh para leluhur kita, pendiri negeri yang telah dilegalkan dalam falsafah bangsa kita, Pancasila,” jelas mas Bro.
“Dalam butir- butir pengamalan Pancasila, di antaranya disebutkan perlunya mengembangkan sikap tenggang rasa.
Artinya menghargai pendirian orang lain yang berbeda dengan kita, termasuk dalam berpolitik,” kata Yudi.
“Itu teori, lantas praktiknya seperti apa. Ini yang penting,” kata Heri.
“Menghargai perayaan keagamaan umat agama lain.
Di lingkup terkecil, di tingkat RT /RW, dengan tetangga kita yang beda agama, kita wajib saling menghargainya,” kata Yudi.