“Keterangan yang dikemukakan oleh ahli pada tahapan proses penyelidikan dan penyidikan hanyalah didasarkan pada hal-hal yang masih bersifat abstrak dan hipotetik, sehingga ahli berfikir dalam konteks speculative thinking, bukan mengungkapkan pikirannya dengan keyakinan yang bersifat positive-conclusive yang didasarkan atas fakta-fakta atau alat bukti lain yang terungkap di dalam persidangan,” lugasnya.
Sehingga Yusril menuturkan jika keterangan ahli digunakan oleh penyidik sebagai alat bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan, maka Hakim Praperadilan berkewajiban untuk menilai fakta-fakta yang terungkap guna memastikan bahwa peningkatan status penyelidikan menjadi penyidikan itu benar-benar berdasarkan alasan dan pertimbangan hukum yang kokoh ataupun tidak.
“Jika penetapan tersangka itu menggunakan alat bukti berupa keterangan ahli yang tentunya didengar pada tahap penyelidikan, maka Hakim Praperadilan berkewajiban untuk menilai keterangan ahli itu dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi, karena keterangan itu mengandung sifat speculative-thinking yang mungkin berguna pada tataran filsafat, lebih-lebih dalam metafisika, tetapi tidak banyak manfaatnya dalam konteks penerapan hukum yang konkret, yang memerlukan tingkat kepastian yang tinggi,” tambahnya.
Alat bukti surat berupa foto atau potret yang dijadikan sebagai alat bukti surat, Yusril menilai bahwa barang itu tidak dapat dijadikan alat bukti surat berdasarkan Pasal 184 KUHAP.
“Poto yang dijadikan barang bukti pertemuan dengan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, tidak menerangkan apa-apa kecuali menunjukkan dua orang yang sedang duduk yang dikenal sebagai Firli dan SYL,” paparnya.
Yusril mengatakan, foto atau potret itu hanya dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk bahwa memang ada pertemuan yang secara fisik dan faktual terjadi antara Firli dengan SYL.
“Sebagai alat bukti petunjuk saja, alat bukti seperti itu baru bisa ditampilkan dengan dihubungkan dengan alat-alat bukti yang lain yang terungkap dalam persidangan,” tuturnya.
Yusril menegaskan, dalam tahap penyelidikan, alat bukti berupa potret atau foto tidak menerangkan apa-apa untuk dijadikan sebagai alat bukti.
Kemudian, terkait dokumen berupa surat anonim tertanggal 1 Oktober 2023 berjudul ‘Kronologi’ yang tidak dapat dipertanggungjawabkan siapa pembuat dan pengirimnya serta harus diuji kebenaran informasinya, maka surat tersebut semestinya tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti.
“Kemungkinan bisa saja surat tersebut merupakan surat yang ditujukan diduga untuk memfitnah, karena surat tersebut tidak dapat membuktikan fakta kebenaran telah terjadinya suatu perbuatan/tindak pidana sesuai Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B UU Tipikor yang seolah-olah dilakukan oleh Firli,” tutupnya.