Istilah baper (bawa perasaan) tak hanya dalam urusan cinta, belakangan ini istilah tersebut ikut mewarnai dinamika politik. Bahkan, acap dikupas dan dibahas, apa yang dimaksud dengan baper dalam dunia politik.
Mencermati dinamika politik akhir - akhir ini, tak kurang sejumlah tokoh bangsa meminta agar para elite mengedepankan gagasan, bukan perasaan. Pemilu mestinya diisi dengan pertarungan gagasan, bukan perasaan.
Soal baperan ini pun sudah dikomentari banyak pihak, baik pimpinan maupun kader parpol, tentu dengan beragam sudut pandang partainya.
Publik pun sudah paham, siapa yang baperan, siapa yang tersinggung, siapa yang tergelitik. Itu bisa dilihat dari pernyataan yang dilontarkan para petinggi parpol dalam menyikapi soal baperan yang dimaksud.
"Kita tak perlu juga ikut baperan dalam menyikapi dinamika politik sekarang ini," kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, Mas Bro dan Yudi.
"Kalau baperan, di antara kita nanti ada yang tersinggung, ujung - ujungnya kita yang berselisih," kata Heri.
"Politik itu harus pakai logika, bukan pakai perasaan. Kalau soal perasaan ada tempatnya sendiri. Kalau cinta baru pakai perasaan," kata Mas Bro.
"Kalau cinta nggak pakai perasaan namanya cinta semu dan palsu, bukan cinta sejati," kata Ayu Bahari, pedagang warteg ikut nimbrung dalam obrolan.
"Tapi kalau kelewat terbawa perasaan bisa menjadi cinta buta, bahaya," kata Yudi.
"Intinya perasaan yang berlebihan dapat melemahkan logika. Padahal dalam sebuah kompetisi dibutuhkan kecerdasan, ketelitian dan kepekaan dalam mengatur serangan guna memenangkan pertarungan," kata Mas Bro.
"Jadi politik baper dalam kompetisi harus ditinggalkan dong?" tanya Heri.