“ kontestan yang berlaga, selain sportif, juga harus bersikap satria. Siap menang dan siap kalah dengan jiwa besar dan legowo. Apapun keputusan rakyat dalam proses pemilihan pemimpin harus dihormati,”
-Harmoko-
Istilah sepakbola acap digunakan dalam dunia politik praktis. Belakangan pernah kita dengar istilah “Catenaccio”, strategi yang memfokuskan pada pertahanan dengan menempatkan banyak pemain di arena pertahanan untuk menghadapi serangan lawan. Biasa digunakan oleh klub Liga Italia.
Sering disebut istilah “safety player”, pemain cerdas yang berupaya mencari aman, tidak tergoda dengan permainan kasar yang disuguhkan lawan. Dalam dunia politik, bisa juga berkonotasi negatif, selalu bersembunyi mencari aman.
Ada juga “counter attack” – sebagai serangan balik untuk melumpuhkan lawan. Dan, masih banyak lagi atraksi politik yang dilancarkan oleh politikus, kader parpol dengan menggunakan istilah dalam dunia sepakbola.
Bahkan, Cawapres dari Koalisi Perubahan, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin pada pidato pengundian nomor urut pasangan Capres - Cawapres, menggambarkan kompetisi pilpres bagaikan permainan sepakbola.Pemilu ibarat kompetisi pertandingan sepakbola.
Ketum PKB ini mengajak masing – masing paslon capres – cawapres bermain sportif dan terbuka. Rakyat harus menikmati pemilu dengan riang gembira dan kebersamaan. Kompetisi, tapi kekeluargaan.
Tanpa ajakan pun, setiap kontestan pilpres wajib menempatkan kejujuran dan keadilan di atas segalanya. Bukankah, asas pemilu adalah Luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) yang di dalamnya tanpa adanya kecurangan, paksaan dan tekanan.
Jika pemilu diibaratkan dengan kompetisi sepakbola, tidaklah salah jika dimaksudkan untuk mengedepankan fair play dan sportivitas dalam permainan. Tidak pula berlebihan karena antara perhelatan politik dan pertandingan sepakbola, terdapat kesamaan, dua –duanya menghadirkan ketegangan dan situasi dramatis.
Bola kompetisi, sebut saja - bola politik kian bergulir, sekarang ini sedang dimainkan oleh para kontestan pilpres dengan nomor kostum 1,2 dan 3 untuk menjebol gawang lawan. Sebagaimana pemain bola,di dalamnya terdapat strategi (manuver) untuk memenangkan kompetisi.
Acap pula diwarnai saling sikut, tekel – menekel, saling dorong untuk menjatuhkan lawan.
Layaknya kompetisi memerlukan trik, siasat dan strategi, kadang diselipi intrik untuk melumpuhkan lawan. Ada juga pemain terus membayangi, berupaya menghalangi lawan mendekati gawang.
Dalam teknis sepakbola dikenal istilah “diving” , yaitu pemain yang sengaja menjatuhkan diri , seolah –olah dilanggar oleh pemain lawan, padahal dirinya yang jatuh.
Itulah sebabnya dalam sepakbola “sportivitas” menjadi rujukan utama. Sportif adalah sikap adil – jujur terhadap lawan. Sikap bersedia mengakui keunggulan (kekuatan,kebenaran) lawan. Sikap mengakui kekalahan (kelemahan, kesalahan) sendiri.
Mengedepankan kejujuran itulah sportivitas, itulah politik dalam sepakbola yang sudah dianut para pemainnya sejak dulu kala.
Menafikkan adanya sikap maunya menang sendiri, benar sendiri, unggul sendiri, dan hebat sendiri. Dengan keangkuhannya tersebut, merasa dirinya yang unggul, sudah dinyatakan kalah, direspons karena ada kecurangan. Itulah yang disebut mencari – cari kesalahan orang lain untuk pembenaran diri sendiri.
Sikap ini jelas tidak selaras dengan sportivitas. Tak sejalan dengan nilai – nilai dalam kompetisi yang menjunjung tinggi demokrasi, di negeri Pancasila yang mengajarkan saling menghormati dan menghargai, termasuk menghargai keunggulan lawan kompetisi.
Standar Etika dan Moral
Konon, sepakbola yang sejak awal dimulai di Tiongkok Kuno, dikhususkan untuk membina kejujuran atau sportivitas serta standar etika dan moral bagi para militer melalui pelatihan fisik dan mental untuk menunjang semangat tempur prajurit.
Maknanya tidak hanya kejujuran dan sportivitas, juga menekankan adanya etik dan moral dalam pertandingan.
Jika kita sepakat pemilu diibaratkan sebagai pertandingan sepakbola, maka tak hanya kejujuran, sportivitas, dan taat aturan yang dikedepankan, etika dan moral harus tetap melekat dalam setiap gerak kompetisi.
Dalam politik kita kenal fatsun politik yang harus dijalankan agar menghasilkan pemenang pertandingan yang beretika dan bermoral. Pemenang yang dikenang sepanjang masa.
Ingat, di sekeliling lapangan hadir suporter, tetapi di luar stadion terdapat banyak penonton yang menyasikan laga. Tim yang buruk dan bermain kotor akan dicemooh dan ditinggalkan.
Karena itu, kontestan yang berlaga, selain sportif, beretika dan bermoral, juga harus bersikap satria. Siap menang dan siap kalah dengan jiwa besar dan legowo. Apapun keputusan rakyat dalam proses pemilihan pemimpin harus dihormati, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. (Azisoko)