Namun, kembali nilai dasar falsafah bangsa kita, kebaikanlah yang harus
menjadi hasil akhirnya. Kebaikan untuk bangsa, untuk kita semua, siapa pun pemenangnya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Boleh jadi rakyat sudah lelah menyaksikan ketidakbaikan dengan beredarnya berita tentang keburukan, berita palsu, prasangka buruk dan merebaknya fitnah dengan beragam narasinya yang memenuhi ruang publik di tahun politik ini.
Jangan sampai titik jenuh tercipta yang berimbas kepada sikap antipati
masyarakat menyongsong gelaran pilpres dan pileg.
Kondisi yang meresahkan ini harus dicegah dan disudahi. Dan, hanya
kebaikanlah sebagai esensi nilai –nilai kepahlawanan yang dapat
menyudahinya.
Ini kembali kepada para elite politik, kandidat dan calon pejabat publik serta semua pihak yang terlibat dalam kontestasi, untuk tidak lagi mengemas narasi keburukan.
Ingat! Narasi keburukan yang diposting akan cepat menyebar dan dengan
mudahnya dapat diakses dari segala penjuru tanpa batasan ruang dan waktu, kapan saja, oleh siapa saja.
Berpotensi menimbulkan kegaduhan karena merangsang semua orang cepat bereaksi, kadang tanpa terlebih dahulu mau memahami apa yang sebenarnya terjadi, apalagi dengan menambahi narasi dengan versinya sendiri.
Saatnya para elite politik menyajikan narasi kebaikan dan gagasan brilian dalam meraih dukungan.
Bersikap bijak, menggunakan akal budi dalam menyampaikan kritikan,
menerima kritikan dan merespons kritikan.
Bagi kita semua, bijak pula dalam menggunakan media sosial dengan
menebarkan informasi positif, bukan negatif. Posting narasi membawa manfaat, maslahat, bukan mudarat. Hal – hal yang penuh kebaikan, bukan keburukan.
Itulah perilaku “kepahlawanan” di era digital, utamanya dalam bermedia sosial. (Azisoko)