“Menuntut pemahaman bagi para elite politik, kandidat dan semua pihak yang terkait dalam proses kontestasi bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis, masih perlu mengedepankan legitimasi moral. Itulah kontestasi ala demokrasi kita, demokrasi Pancasila.”
-Harmoko-
Kampanye pemilu belum digelar, tetapi atraksi politik yang mengarah kepada kampanye sudah dilakukan lewat agenda sosialisasi dan pengenalan diri masing – masing kandidat.
Kegiatan seperti turun ke lapangan, blusukan, menyambangi warga, menghadiri acara, menggelar berbagai lomba, menyerap aspirasi sekelompok masyarakat, bukanlah pelanggaran.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak bisa memberikan sanksi, kecuali mengingatkan agar masing – masing parpol tidak mencuri start kampanye bacapres – bacawapres, karena memang belum masanya. Paslon capres – cawapres sendiri baru ditetapkan oleh KPU pada 13 November 2023.
Kalau pun kemudian mencuat kritikan lebih kepada masalah etika , bukan norma dan aturan perundangan – undangan.
Ya, etika politik belakangan sering disuarakan, tak hanya oleh masyarakat kepada para elite dalam berkomunikasi, memberi pernyataan politik, juga di kalangan di internal parpol sendiri.
Bahkan, kini sudah mulai saling sindir, saling singgung antara parpol yang satu dengan lainnya. Antara kandidat dan para pendukungnya dengan kandidat dan pendukung lainnya.
Boleh jadi saling singgung dan sindir antar kandidat yang terjadi sekarang baru sebagai pemanasan, sebelum resmi melakukan serangan politik, begitu kampanye digelar yang dijadwalkan mulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.
Ini bukan hal yang baru dan tabu. Setiap jelang pilpres, pemilu legislatif, saling serang pernyataan adalah bagian dari dinamika demokrasi jelang kontestasi. Lebih – lebih pada masa kampanye.
Yang perlu disikapi bersama bagaimana menciptakan pemilu yang aman dan damai, dan menggembirakan, selayaknya orang berpesta.
Kembali ke soal etika, memang bukanlah pelanggaran norma yang berujung kepada beragam sanksi sebagaimana tingkat kesalahan.
Bicara etika adalah soal pantas dan tidak pantas.Baik dan buruk menurut norma sosial, bukan norma hukum. Etika adalah mengenai hak dan kewajiban moral.
Keteladanan etik dan moral bagi politisi perlu dikedepankan dalam kontestasi. Saling sindir dan singgung antara elite politik, sah adanya sepanjang tidak mengungkit aib pribadi yang berdampak kepada ketersinggungan, perselisihan dan perpecahan.
Berilah keteladanan politik yang mencerahkan dan menyenangkan menyongsong pesta demokrasi kepada kaum muda, generasi milenial dan generasi Z sebagai pemilih terbesar di pilpres 2024.
Data KPU menyebutkan sebanyak 46.800.161 atau 22, 85 persen pemilih merupakan generasi Z yang lahir mulai tahun 1995 hingga 2000-an. Sedangkan pemilih dari generasi milenial (yang lahir tahun 1980 hingga 1994) berjumlah
66.822.389 orang atau 33,60 persen. Jika ditotal, kedua generasi tersebut berjumlah 113.622.550 atau 56,45 persen dari total pemilih sebanyak 204.807.222 jiwa yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Tentu dari beragam latar belakang pendidikan dan status sosial ekonominya.
Politik mencerahkan menjadi penting untuk menurunkan kadar sikap apolitis ( tidak peduli atau kurang berminat pada politik) elektoral bagi kaum muda.
Di sisi lain untuk menetralisir, setidaknya mengerem kian maraknya penyebaran disinformasi dan berita palsu, utamanya di media sosial.
Sementara pengguna media sosial tercatat 167 juta orang, 79,5 persen adalah anak muda dengan menggunakan aplikasi WhatsApp, Instagram, Facebook, TikTok dan twitter.
Cukup beralasan sekiranya para elite politik, kandidat dan tim suksesnya perlu bijak dalam mengemas dan menyampaikan informasi di media sosial. Menahan diri untuk tidak terpancing emosi serta memberi kesempatan kepada pihak lain untuk berargumentasi. Itulah bagian dari pengamalan nilai- nilai luhur falsafah bangsa dalam membangun komunikasi dan mencegah disharmoni.
Sebelum memasuki masa kampanye, adalah saat tepat mengedepankan nilai – nilai moral sebagai pondasi membangun cara – cara kampanye mendidik dan bermoral. Bukan sebaliknya memberikan komentar melalui media sosial yang mengundang kegaduhan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Bukan pula merekayasa komentar dengan cara mengadu domba, menyebar hoax, politisasi gosip tanpa etika dan memutarbalikkan fakta.
Ini menuntut pemahaman bagi para elite politik, kandidat dan semua pihak yang terkait dalam proses kontestasi bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis, masih perlu mengedepankan legitimasi moral.
Itulah kontestasi ala demokrasi kita, demokrasi Pancasila. (Azisoko).