Desa tidak hanya sebagai sumber kehidupan manusia, juga penyangga peradaban bangsa. Guyub dan rukun menjadi karakteristik masyarakat desa. Kearifan lokal ada di sana, beragam keunggulan ada di sana, tetapi kemiskinan juga ada di sana. Ini yang perlu dikelola.
-Harmoko-
Sejumlah strategi mulai dikemas partai politik dan para kandidat baik di pilpres maupun pileg, dengan tujuan meraih suara terbanyak, memenangkan kontestasi.
Ada yang menyebut politik gerendel, desa mengepung kota, politik empati, politik merangkul (bukan memukul), efek politik belas kasihan dan masih banyak istilah lainnya.
Apa pun namanya, strategi dibangun bertujuan untuk menguatkan dukungan rakyat, menarik simpati publik sehingga menjadi tertarik, terpesona, dan pada akhirnya jatuh cinta, mencoblos tanda gambarnya.
Tak heran, jika baliho, spanduk, poster, umbul- umbul dan sejenisnya sudah menebarkan ‘wewangian politik” dengan memasang foto kandidat yang paling cantik atau ganteng, dengan kata – kata yang penuh pesona guna menarik perhatian publik.
Itulah yang sekarang kita saksikan sepanjang perjalanan, di sudut – sudut jalan, perempatan dan pertigaan terpampang foto kandidat dengan senyumnya yang menawan.
Wajar adanya,memasang foto di ruang publik, tentu dipilih yang paling menarik, bukan saja soal warna, kecerahan cahaya, juga gaya dan gestur tubuhnya.
Memang foto di jalan –jalan mulai dari pemukiman mewah hingga pinggir sawah adalah bagian dari strategi menarik simpati publik, setidaknya ajang pengenalan diri.
Begitu juga lembaga partai politik, mulai memanaskan mesinnya guna menguasai lomba dengan strategi yang dimainkan hingga akhir nanti, pencoblosan pada 14 Februari 2024. Hari Rabu legi, sering disebut juga Rabu manis.
Kita, rakyat sangat berharap pada hari itu juga akan berbuah manis, pilpres dan pileg menghasilkan pemimpin yang merepresentasian dambaan rakyat, mampu memimpin negeri sebagaimana harapan rakyat.
Bertekad kuat memajukan bangsa dan negara, memakmurkan rakyatnya sebagaimana cita – cita para pendiri negeri ( founding fathers).
Tentu, bukan cita – cita dirinya, kelompoknya semata. Bukan pula menjadi abai terhadap aspirasi rakyat – amanah rakyat yang dititipkan melalui pemberian hak suaranya.
Jangan lantas pula, setelah menjadi pemimpin lupa siapa dirinya, atas janji manisnya yang pernah ditebarkan sebelumnya.
Memang, politik tak selamanya sewangi parfum yang menyebarkan keharuman ke seluruh penjuru arah, menyegarkan penciuman.Kadang, menyesakkan dada, dan membuat perih di hati, jika strategi politik yang digulirkan hanya terhenti untuk meraih kekuasaan, tanpa proses lebih lanjut bagaimana kekuasaan yang diperolehnya itu dikembalikan kepada rakyat, dipergunakan untuk kemaslahatan umat, memuliakan rakyat.
Itulah yang disebut politik rakyat. Kekuasaan yang diraihnya berasal dari amanah rakyat, oleh rakyat dan digunakan sebaik – baiknya untuk kepentingan rakyat.
Siapa pun dia, pejabat di level mana pun yang tidak memuliakan rakyat, tak ubahnya mencederai sendi- sendi demokrasi, mengebiri tujuan politik yang begitu mulai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita hendaknya tidak memalingkan perhatiannya kepada masyarakat, utamanya masyarakat pedesaan yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, tetapi acap terabaikan.
Di tahun politik digerakkan untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu, memberikan hak suaranya (mencoblos) baik pilpres maupun pileg. Sering disambangi, diberi bantuan, tetapi selesai pemilu, acap dilupakan.
Usai pencoblosan, yang petani penggarap, kembali menggarap ke sawah, yang nelayan kembali mencari ikan, yang peternak kembali mencari rumput, yang buruh kembali menjadi buruh. Yang miskin, boleh jadi tetap miskin.
Sementara kita tahu, sumber pangan manusia semuanya ada di desa. Kearifan lokal ada di sana, jati diri bangsa ada di sana, keungulan bangsa ada di sana, tetapi kemiskinan juga ada di sana.
Karenanya, politik rakyat perlu ditindaklanjuti melalui kebijakan nyata kembali ke desa.Menciptakan produk lokal menjadi keunggulan di dunia guna menyejahteraan rakyatnya.
Bicara pengentasan kemiskinan harus dimulai dari sana, dari sumbernya bukan di ujungnya, daerah perkotaan yang terkena dampak akibat tingginya arus urbanisasi.
Di sisi lain, desa tidak hanya sebagai sumber kehidupan, juga penyangga peradaban bangsa, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Sikap guyub dan rukun sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa. Suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari warga desa.
Begitu juga kesetiakawanan sosial, sikap tolong menolong dan gotong royong tanpa paksaan atau diminta, telah lama tercipta, tanpa perlu dipaksa. (Azisoko).