Ingat! Pemilu kita menganut asas proporsional terbuka, memilih langsung calon
wakil rakyat, calon kepala daerah hingga paslon capres – cawapres, bukan
partai pendukungnya.
Tidaklah berlebihan kiranya di tengah jalan, jelang pilpres atau pilkada, bahkan
jelang pendaftaran capres, calon kepala daerah, terjadi perubahan komposisi
atau tukar pasangan calon. Boleh jadi, satu penyebabnya karena visual identity,
penampilan kandidat selama ini belum mampu mengatrol tingkat keterpilihan
atau, malah dinilai melemahkan parpol pendukungnya.
Mengganti kandidat di tengah jalan, bisa disebut sebagai langkah rebranding
(menata kembali brand yang dibangun), dengan tujuan untuk mengatrol tingkat dukungan dan keterpilihan.
Dalam dunia bisnis, rebranding bisa dilakukan secara total menyeluruh dengan
mengganti logo, organisasi, visi dan misi, tagline dengan maksud lebih cepat
mencapai target dan sasaran.
Di dunia politik, tentu dengan tujuan meningkatkan popularitas, elektabilitas,
loyalitas para pendukungnya, fansnya, simpatisannya. Dengan harapan,
terkatrol tingkat dukungan dan keterpilihan.Goalsnya, adalah kemenangan
dalam pemilu, baik partainya maupun capresnya.
Hanya saja brand (citra diri) yang dibangun hendaknya dilakukan secara
transparan, proporsional, apa adanya, apa yang dicitrakan sesuai dengan
kenyataan. Tidak juga bias, tidak melebih-lebihkan untuk menutupi
kekurangan, apalagi sampai memanipulasi diri sendiri, seperti dikatakan Pak
Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini..
Citra diri yang dikemas dengan kepalsuan, lebih – lebih di luar batas kewajaran
yang diwarnai sikap arogan, yang tak sesuai etika budaya kita, akan melahirkan
dukungan semu. Boleh jadi bukan simpati yang didapat, tetapi antipati.
Itulah sebabnya dalam membangun brand harus memahami karakter
konsumennya, masyarakat pemilih. Tidak asal membangun. (Azisoko).