Kasus konflik agraria Kampung Rempang Batam hingga kini terus menggelinding bak bola panas. Ribuan masyarakat Rempang harus digusur dari tempat Nenek moyangnya yang sudah tinggal selama ratusan tahun demi proyek prestisius senilai Rp 172 triliun dari China.
Ketika rakyatnya menghadapi kesulitan dan kebingungan, pemimpin - pemimpin potensial masa depan Indonesia harusnya bersuara lantang untuk mempertanyakan tindakan dan kebijakan tersebut. Karena tidak seharusnya atas nama investasi pemerintah menghalalkan segala cara rakyatnya tunduk pada relokasi.
Di tengah kontroversi ini kita perlu mempertanyakan komitmen para calon presiden terhadap keadilan sosial dan perlindungan hak-hak warga negara. Sehingga penguasa kedepan tidak mengulangi perbuatan yang sama yang merusak tatanan hidup berbangsa.
Dalam sebuah negara demokratis suara pemimpin seharusnya menjadi jaminan bagi rakyatnya bukan malah ketidakpastian, bukan malah sibuk dengan urusan politis antara siapa yang dapat capresnya.
Kita membutuhkan pemimpin yang tegas berani dan siap membela kepentingan rakyatnya. Bukan menjual suara atas nama rakyat. Karena itu masyarakat harus berani menghindari capres dan partai politik yang tidak peduli dengan rakyatnya.
Kasus Rempang ini adalah pengingat bahwa Indonesia memerlukan pemimpin yang berbicara dan bertindak untuk keadilan. Terutama ketika rakyatnya menghadapi kesulitan besar seperti penggusuran paksa yang terjadi saat ini di Pulau Rempang.
Karena itu publik perlu mendengar komentar dan tanggapan jelas dari semua capres. Ini bukan hanya tentang urusan politik semata tetapi tentang keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia kedepan.
Rakyat Rempang yang sudah menetap sejak tahun 1834 akan hilang adat istiadatnya hanya demi Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City yang merupakan salah satu proyek prioritas penguasa.
Padahal rakyat Melayu Rempang sangat toleransi dan menjunjung tinggi kebersamaan siapa pun dia dan dari suku mana pun. Bukan sebaliknya kebaikan Bumi Melayu dianggap sepele dan gampang untuk diatur-atur atas nama investasi. Karena itu, pasca bentrok masyarakat Rempang tak lagi percaya janji manis penguasa.
Kasus Rempang mengindikasikan kegagalan kebijakan penguasa dalam memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sila ke 5 Pancasila. Anehnya, suara lantang yang kita dengar 'Saya Pancasila' menghilang bak ditelan bumi.
Kita patut prihatin, ternyata keadilan sosial tergerus hanya karena proyek investasi asing. Lalu benarkan Presiden Jokowi tidak tahu kebijakan di bawah tidak berjalan ? Bisa saja tidak, bisa juga tahu. Tapi, Presiden Jokowi sendiri sempat mengeluhkan jawaban bawahannya yang menyebut, "Siap Pak ! Semua Beres dan Aman".