Jika sudah demikian, munculah apa yang disebut ingkar janji. Janji palsu,
pembual, tukang janji, pengobral janji, tak satu pun ditepati. Janji kampanye
hanya pemanis bibir belaka, bagaikan umpan di kail, setelah dapat ikan,
dilempar begitu saja.
Pesta demokrasi yang diagung – agungkan hanya memenuhi dua kriteria dasar,
yakni dari rakyat, oleh rakyat. Sementara bagian untuk rakyat tidak jelas
kriterianya. Entah untuk rakyat siapa dan yang mana.
Agar tidak terjerat kepada predikat janji palsu, perlu kehati – hatian para elite
politik dan calon pejabat di level manapun dalam memberikan janji.
Buatlah janji yang logis dan realistis sesuai kemampuan dan kapasitasnya untuk
dapat direalisasikan. Buatlah janji politik dengan akal sehat, agar politik janji
dapat dijalankan dengan cepat dan akurat.
Jangan membuat janji yang mengawang - awang, di luar batas kemampuan
hanya karena ingin dapat sanjungan dan pujian, tetapi pada akhirnya
menyesatkan.
Menjadi tugas para elite politik yang ikut kontestasi pada pemilu tahun depan,
untuk menyeimbangkan antara janji politik dengan politik janji. Jangan
mengobral janji, jika tidak punya kemampuan untuk menepati.
Jangan menjadikan janji hanya penuntut tanggung jawab moral, tetapi
memenuhi janji adalah sebuah kewajiban, seperti dikatakan Pak Harmoko
dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Siapa pun hendaknya memiliki kesadaran diri bahwa tidak memenuhi janji
adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri.
Filosofi Jawa mengatakan ”Ajining diri dumunung ing kedhaling lathi” –
Bernilai tidaknya seseorang manusia dapat diukur dari ucapan yang keluar dari
mulutnya. Apa yang telah dikatakan.
Bagi seorang ksatria, mengaku dirinya sebagai pejuang bangsa, yang berbudi
pekerti luhur, tidak akan omdo (omong doang), tetapi menepati apa yang telah
diucapkan. (Azisoko)