“Mari kita bangun struktur politik yang penuh etik dan bermoral dengan menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan, bukan menebar tipu daya kepalsuan demi pencitraan..”
-Harmoko-
Dalam dunia politik kita kenal sejumlah istilah seperti manuver politik, ambisi politik, syahwat politik, atraksi politik, dan drama politik yang baru – baru ini mewarnai dinamika parpol koalisi.
Ada yang mengatakan deklarasi pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar untuk pilpres 2024 bagaikan drama yang mewarnai panggung politik negeri kita.
Cukup beralasan, mengingat proses politik tersebut berlangsung begitu cepat, tanpa terduga sebelumnya, setidaknya lolos dari pengamatan.Tetapi itulah panggung politik yang tak lepas dari akting para pemainnya seperti halnya panggung teater pada umumnya.
Keberhasilan sebuah pentas akan tergantung kepada para aktornya yang berakting secara total sebagaimana peran yang diberikan, bila perlu berimprovisasi, sejauh tidak menyimpang dari alur cerita.
Juga kekompakan dan keselarasan antar – pemain dalam berakting di atas panggung sesuai arahan sang sutradara.
Tampilan panggung harus hidup, penuh pesona dan daya tarik luar biasa sehingga penonton menjadi puas yang berefek kepada meningkatnya elektabilitas sebuah pentas.
Para aktor harus bermain serius, dengan segala trik yang ditampilkan seolah nyata adanya agar menarik perhatian, meski apa yang diperankan tak sesuai dengan karakter aslinya. Itulah perlunya gimik dalam pentas hiburan. Improvisasi, gerak – gerik tipu daya mengelabuhi lawan main, bagian gimik dalam seni peran.
Dalam dunia politik juga dikenal juga istilah gimik.Bahkan dikatakan, politik tanpa gimik, menjadi kurang menarik.
Gimik di dunia politik sangatlah beragam. Tak hanya dari visi dan misi, janji, program dan gagasan, juga melalui pencitraan.
Berbicara soal pencitraan tentu berhubungan dengan hal – hal yang baik dan menarik. Baik ucapan, perilaku dan perbuatannya di hadapan publik.
Ibarat panggung teater, pencitraan itu tampilan depan panggung yang penuh dengan pesona, melodrama sehingga semua mata tertuju padanya.
Mengapa bisa? Jawabnya karena sang aktor sedang memainkan karakter sesuai peran yang lagi dijalaninya, ditunggu- tunggu pemirsa. Begitu turun panggung akan kembali sebagaimana karakter aslinya. Itulah seni peran.
Melalui kolom ini tahun lalu, dengan mengangkat tema “Panggung politik ( Kopi Pagi edisi 4 April 2022), pernah saya singgung bahwa ibarat panggung teater, tampilan panggung depan dan belakang akan berbeda.
Di depan penuh dengan panorama, pesona dan memiliki daya pikat luar biasa, tetapi panggung belakang adalah keadaan sesungguhnya. Di situlah para pemain (aktor) tampil dengan karakter aslinya. Itu pula, gambaran panggung politik pada umumnya, termasuk di negeri kita dan sebagian para aktornya.
Menjadi renungan, akankah karakter seperti ini akan diperankan oleh elite politik kita?Jawabnya akan beragam.
Gimik politik sah – sah saja dalam tahapan sosialisasi dan kampanye pemilu untuk menarik perhatian massa sehingga menumbuhkan simpati publik.
Meski simpati publik belumlah cukup, tanpa adanya keyakinan dan kepercayaan publik terhadap kandidat yang bersangkutan. Simpati belum merepresentasikan tingkat keterpilihan.
Simpati akan berkembang menjadi “jatuh hati” jika dibarengi aksi peduli dengan menebar empati, memenuhi hasrat aspirasi publik.
Gimik yang dikemas bukan dengan menebar janji dan membuai mimpi, tidak juga menjual gagasan di atas awan, tetapi melalui satunya kata dan perbuatan.Meski sederhana, tetapi nyata adanya.
Gimik fashion melalui perilaku sehari – hari, boleh jadi lebih efektif, ketimbang debat sana – sini, berpidato ke sana kemari.
Sebut saja soal hobi dengan menyelipkan upaya membangun empati, motivasi dan inspirasi. Bertiwikrama di media sosial dalam merespons perbedaan, sebagai bentuk penghormatan adanya keberagaman.
Jauhkan gimik politik yang bernafaskan simbol – simbol keagamaan dan kesukuan karena dapat memercikan perbedaan.
Kemaslah gimik politik sebagaimana jati dirinya agar publik semakin meyakini bahwa itu adalah alami, tanpa adanya perbedaan antara tampilan depan dan belakang.
Mari kita bangun struktur politik yang penuh etik dan bermoral dengan menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan, bukan menebar tipu daya kepalsuan demi pencitraan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Tentu, yang ditebar ucapan dan perbuatan yang baik. Memberikan inspirasi serta memotivasi masyarakat memecahkan segala persoalan bangsa. Membangun, bukan merusak. Menyatukan, bukan memecah – belah persatuan. (Azisoko).