JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Tak banyak yang tahu bahwa alat pemadam api ringan (APAR) yang disertakan pada mobil ternyata berpotensi tinggi untuk meledak.
Fakta APAR pada mobil berisiko meledak tersebut setidaknya mencuat usai disampaikan oleh Senior Investigator dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Ahmad Wildan dalam seminar bertajuk 'Hak-hak Konsumen dan Kelengkapan Keselamatan Berkendara yang digelar Forum Wartawan Otomotif Indonesia (Forwot).
Menurut Ahmad Wildan, peluang APAR di mobil berisiko meledak itu lantaran hampir semua Agen Pemegang Merek (APM) menggunakan jenis bertekanan.
Itu sebabnya, pada tanggal 7 November 2022, Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, mengeluarkan surat susulan untuk melengkapi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 74 Tahun 2021, yang pada intinya menekankan bahwa APAR untuk digunakan pada kendaraan umum adalah APAR yang tidak bertekanan.
“Akan tetapi, hingga kini masih ada kendaraan bermotor yang menggunakan APAR yang bertekanan. Padahal membawa APAR bertekanan di dalam mobil itu berbahaya, terutama jika APAR bertekanan itu tidak secara berkala diperiksa,” kata Ahmad Wildan disitat redaksi Senin 28 Agustus 2023.
Selain punya masa kedaluwarsa sekira 8 tahun, lanjut dia, APAR bertekanan juga perlu mendapat perawatan khusus. Berbeda dengan jenis APAR tidak bertekanan yang tidak perlu perawatan khusus, serta memiliki masa kedaluwarsa sekira 8 tahun juga.
"Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 74 Tahun 2021 memang tidak secara jelas menyinggung bahwa APAR yang bisa digunakan untuk kendaraan bermotor itu bertekanan atau tidak, sehingga hampir semua APM menggunakan APAR yang bertekanan," kata Wildan.
Jika mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI), APAR bertekanan tabungnya harus diperiksa atau diganti setelah 5 tahun, serta isi tabungnya (materi untuk memadamkan api) harus diganti setiap tahun, dan diperiksa setiap 6 bulan.
Maka artinya APAR bertekanan tidak memenuhi standar yang sudah diatur.
"Semua APAR yang ada di dalam kendaraan baik baru maupun lama harus mengacu kepada standar keselamatan minimal yang diatur dalam regulasi, di antaranya adalah tidak mengandung bahan beracun, mampu memadamkan sekurang kurangnya 3 jenis kebakaran yaitu A, B dan C serta memiliki masa kadaluwarsa tanpa pemeliharaan sekurang kurangnya 8 tahun," kata dia.
Sementara penggunaan APAR saat ini dinilai hanya bisa untuk memadamkan jenis kebakaran B dan C saja atau memiliki masa kadaluwarsa tanpa pemeliharaan kurang dari 8 tahun. Untuk poin itu saja, sudah tidak lagi memenuhi standar keselamatan minimal kendaraan sebagaimana diatur dalam regulasi ini dan harus segera dilakukan penggantian.
Demikian halnya untuk kendaraan baru, setiap unit yang diserahkan kepada konsumen harus memenuhi ketentuan yang diatur di dalam regulasi ini.
Dia mengatakan, pihak produsen berkewajiban untuk menyediakan APAR dengan spesifikasi minimum yang telah ditetapkan, lalu menyertakan petunjuk penggunaan dan informasi yang tepat dan mudah dipahami oleh pengguna kendaraan (KISS/keep it simple and stupid).
Diharapkan YLKI juga bisa mengambil peran serta termasuk dalam hal pengawasan, mengingat hal ini sangat terkait erat dengan hak-hak konsumen terhadap keselamatan.
Mengingat keselamatan adalah hak konsumen yang paling hakiki, dalam kasus kendaraan yang sudah terlanjur dijual ke masyarakat namun standar keselamatannya belum sesuai dengan regulasi yang terbaru, maka pihak produsen otomotif seharusnya dinilai melakukan penggantian part sesuai dengan standar keselamatan yang baru atau istilah bakunya melakukan recall.
Pada kesempatan itu, Ahmad Wildan juga mengatakan bahwa, “Standar keselamatan kendaraan yang diatur di dalam PM 74 Tahun 2021 adalah standar minimal yang harus dipenuhi, baik itu kendaraan baru maupun kendaraan lama. Sebagai contoh, bahwa kewajiban memasang RUP (rear underrun protection) dan APC (alat pemantul cahaya) itu berlaku untuk semua kendaraan barang tertentu yang diatur dalam regulasi ini baik itu kendaraan baru maupun lama. Termasuk juga masalah APAR.”