Kopi Pagi

Pesona kesantunan

Senin 21 Agu 2023, 05:56 WIB

“Budaya yang perlu dibangun di ruang publik dengan senantiasa menampilkan pesona kesantunan. Santun dalam ucapan dan tulisan (cuitan), santun pula dalam merespons dialog di ruang publik, meski beda aspirasi politik,” -Harmoko-

Keadaban publik kembali banyak diperbincangkan. Budaya sopan santun dan berbudi pekerti luhur sering dikupas dan dibahas, tetapi seolah tak pernah memberkas. Dalam arti kurang merasuk dalam jiwa sebagai jati diri bangsa, bagi sebagian masyarakat kita, utamanya implementasi dalam kehidupan nyata.

Saling cela dan cerca, saling hasut dan memfitnah serta menebar kebencian masih mewarnai ruang publik. Kadang, isu liar pun acap berseliweran di media sosial, jika tanpa filter diri, dapat memunculkan embrio perselisihan yang pada gilirannya mengancam kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Semakin pudarnya budaya santun dan budaya budi pekerti luhur seperti disampaikan Kepala Negara pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD, sehari menjelang peringatan HUT ke-78 RI, merupakan pesan bagi kita semua atas sebuah fenomena. Perlunya merawat dan menjaga kesantunan sebagai budaya bangsa.

Keadaban sejatinya tidak asing lagi bagi bangsa kita. Keadaban yang bercirikan kehalusan budi pekerti, sopan santun dan ramah tamah telah menjadi jati diri bangsa Indonesia sejak dulu kala.

Buya HAMKA pernah berpesan kepada kita bahwa kemunduran negara tidak akan terjadi kalau tak ada kemunduran budi dan kekusutan jiwa. Maknanya merosotnya budi pekerti dan kekusutan jiwa bisa menjadi pendorong kemunduran suatu bangsa dan negara. 

Ini dapat dipahami karena budi pekerti dapat dikatakan sebagai cermin ‘kepribadian’ bangsa itu sendiri. Jika budi pekerti masyarakatnya luntur, maka luntur pula kepribadian suatu bangsa. 

Peran penting budi pekerti sebagai identitas dan budaya bangsa menjadikan para pendiri negeri ini sejak awal sangat konsen menjaga dan berupaya keras melestarikannya.

Bung Karno ketika pidato kenegaraan mengumumkan proklamasi kemerdekaan sudah mencetuskan pentingnya kepribadian bangsa, berkarakter dalam hal sosial budaya. 

Dapat dipahami karena negeri kita memiliki beragam keunggulan budaya sebagai nilai lebih sebagaimana tercermin dalam nilai – nilai luhur Pancasila, dibandingkan bangsa - bangsa lain.

Nilai lebih inilah yang mestinya dijaga, dipelihara dan ditumbuhkembangkan untuk menangkal derasnya pengaruh negatif budaya asing, badai globalisasi, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi berikut dampak buruknya.

Tak bisa kita hindari, di era serba digital ini, pergaulan manusia antarbangsa - antarnegara, dapat dilakukan kapan saja, tanpa sekat, tanpa filter,tanpa batasan waktu dan tempat.

Kita berharap di era teknologi komunikasi super canggih ini,  tidak lantas menjadi pemicu terkikisnya budi pekerti bangsa. 

Ini perlu filter. Pertanyaannya kemudian, siapa yang memfilter? Jawabnya diri kita sendiri. Bukan tetangga, bukan pula teman dan kerabat dekat.

Perilaku serba instan,agresif, anarkis, apatis dan korup hendaknya dapat kita hindari. Sebaliknya budi pekerti luhur seperti bersikap jujur, amanah, rendah hati (tawadhu), santun, sabar dan senantiasa bersyukur, wajib kita terapkan dan wariskan hingga ke anak cucu.

Budaya sopan santun dan ramah tamah yang telah menjadi jati diri bangsa Indonesia sejak dulu kala, wajib kita rawat dan pelihara dengan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari – hari.

Mulai dari ruang yang bersifat privacy, lebih – lebih di ruang publik seperti di media sosial, ruang dialog baik di televisi,media online dan media massa lainnya yang tentu akan terbuka menjadi konsumsi publik.

Itulah sebabnya membangun keadaban di ruang publik, sebut saja keadaban publik menjadi keniscayaan. Saling hujat, menghasut, caci memaki dan mencerca yang bersifat pribadi, apalagi hampa substansi, tak perlu lagi terjadi di ruang publik.

Selain tidak sesuai dengan etika dan adab budaya bangsa, juga sebuah pengingkaran terhadap falsafah bangsa kita, Pancasila sebagai pedoman hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Budaya yang perlu dibangun di ruang publik dengan senantiasa menampilkan pesona kesantunan. Santun dalam ucapan dan tulisan (cuitan), santun pula dalam merespons dialog di ruang publik, meski beda aspirasi politik, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Setiap individu hendaknya lebih bertanggung jawab dengan mengedepankan etika ketika bertiwikrama satu sama lain di ruang publik.Tentu dalam bingkai saling menghormati hak orang lain. Menjunjung tinggi harkat dan martabat orang lain, bukan merendahkan martabat orang lain.Lagi - lagi perlu perlu keteladanan, utamanya para elite politik dalam memasuki tahun politik dengan mengedepankan strategi politik yang santun dan simpatik, ketimbang trik penuh intrik.

Ingat! Dengan sengaja merendahkan martabat orang lain, sejatinya telah merendahkan diri sendiri di hadapan publik. (Azisoko)
 

Tags:
Pesona kesantunanKopi Pagi

Administrator

Reporter

Administrator

Editor