BOGOR, POSKOTA.CO.ID - Tak hanya Jakarta, buruknya kualitas udara juga dirasakan di daerah penunjang Ibu Kota, salah satunya Kabupaten Bogor. Di Bumi Tegar Beriman ini indikator Particulate Matter (PM)2.5 mencapai angka 100mg/m³.
Angka ini meningkat dua kali lipat dari baku mutu udara Kabupaten Bogor yang seharusnya 50mg/m³.
Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kemitraan pada DLH Kabupaten Bogor Cholid Mawardi mengatakan,pihaknya hanya memiliki satu alat ukur Air Quality Monitoring System (AQMS) yang diletakkan tak jauh dari Kantor Dinas Lingkungan Hidup.
AQMS tersebut, kata pria yang akrab disapa Ardi ini, memiliki radius jangkauan 5 Kilometer dari titik nol.
"Adanya di belakang kantor DLH, dan radiusnya hanya 5 kilometer. Jadi tidak bisa mencerminkan udara Kabupaten Bogor," kata Ardi saat dihubungi Poskota, Rabu (16/8/2023).
Namun, menurut Ardi, berdasarkan Air Quality Monitoring System tersebut, memang ada penurunan kualitas udara di di seputar Kantor DLH yang terletak di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor.
"Berdasarkan alat itu memang di bulan Agustus, PM 2,5 (debu) nya lagi tinggi. Terlebih pada 7 Agustus," ucapnya.
Meningkatnya debu di Kabupaten Bogor bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah cuaca.
"Penyebabnya bisa macam-macam, terutama cuaca. Karena debu itu paling kalah dengan hujan. Kita sudah berapa minggu nggak dapat hujan gede, makanya alhasil debunya tinggi," paparnya.
Selain cuaca, buruknya kualitas udara di Ibu Kota Kabupaten Bogor ini juga disebabkan oleh transportasi dan sektor lainnya.
"Apakah kita berpengaruh terhadap Jakarta? Bisa iya, atau bisa juga tidak. Harus ada kajian lebih dalam walaupun kata KLHK Jakarta dipengaruhi udara di sekitarnya. Tapi seberapa besar pengaruhnya kita juga tidak tahu," tuturnya.
Lebih lanjut, menurut Ardi, selain cuaca aktifitas manusia di segi transportasi, energi dan industri menjadi lingkaran yang tak berpangkal dalam menurunnya kualitas udara di seputar Kabupaten Bogor.
"Jadi polusi udara ini ada penyebabnya cuaca kemarau, cuaca kemarau disebabkan perubahan iklim, perubahan iklim disebabkan oleh emisi GRK, emisi GRK karena aktivitas manusia. Tapi memang pangkalnya ada di aktivitas manusia sih," urainya.
Buruknya kualitas udara ini pun berdampak pada penyakit Inspeksi Saluran Penafasan Akut (ISPA).
Terpisah, Subkoordinator P3M Dinkes Kabupaten Bogor, Tavip Triyono menjelaskan, dari data yang dimiliki oleh Dinkes, tercatat kasus ISPA di Kabupaten Bogor sejak Januari hingga Juli tidak berpotensi peningkatan penyebaran.
"Jadi kalau dibandingkan dengan data yang sebelumnya di 2022, itu trennya hampir sama," akunya.
Dalam 7 bulan terakhir, dari 101 Puskesmas yang ada di Kabupaten Bogor selalu ada saja laporan terkait ISPA di setiap bulannya.
"Laporan di 101 puskesmas tiap bulan ada masuk. Itu ada saja tiap hari masuk. Tapi lonjakan kasusnya biasa saja, tidak ada lonjakan signifikan untuk ISPA," ucapnya.
Dinkes pun menghimbau, untuk warga yang memiliki aktifitas tinggi, khususnya yang berkegiatan ke Jakarta untuk memperhatikan daya tahan tubuh dan juga jaga imunitas.
"Jangan lupa Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS), tetap dijaga. Seperti halnya musim Covid kemarin. Kalau Covid kan sampai pake masker, jadi kalau di saat seperti ini imbauan tetap imunitas dan PHBS, termasuk minum air putih yang cukup," pungkasnya. (Panca Aji)