JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan kader Demokrat bersuka cita atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak upaya peninjauan kembali (PK) yang diajukan Kepala Staf Presiden, Moeldoko pada Kamis, 10 Agustus 2023.
Dalam pidatonya di DPP Partai Demokrat, AHY memberikan apresiasi terhadap para penegak hukum, yakni para hakim di MA, jajaran hakim di tingkatan pengadilan, Menko Polkam Mahfud MD dan Menkumham Yasonna Laoly.
Tampak ekspresi kebahagiaan terlihat di wajah AHY serta para kader Demokrat lainnya. AHY mengatakan, bahwa pemerintah berkomitmen menegakkan hukum yang adil di Indonesia. Dan, putusan tersebut dinilai rasional berdasarkan kebenaran dan hati nurani.
Sebelum MA memutuskan menolak PK Moeldoko, Mahfud MD telah memberikan pandangannya seputar kasus tersebut. Mahfud MD dikenal sebagai menteri yang berani menyuarakan kebenaran di sejumlah kasus di Tanah Air, salah satunya PK yang dilayangkan Moeldoko.
Dalam pandangannya, Mahfud MD menyampaikan bahwa secara logis bahwa PK Moeldoko akan ditolak. Ini karena gugatan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang (Moeldoko) telah kalah di pengadilan tingkat sebelumnya.
Mahfud MD juga sempat menyebut bahwa hakim mabuk jika memenangkan PK Moeldoko. Arti mabuk di sini adalah tidak bisa membaca secara utuh dalam kasus tersebut. Dengan demikian, PK Moeldoko ditolak adalah hukum yang wajar dan tidak mengagetkan.
Padangan Mahfud MD, yang memang tidak diragukan lagi akan kepakaran dalam hukum itu 'didengar' MA dan para hakim. Dalam masalah ini juga publik ikut mengawal dan memantau. Ternyata, hukum masih tegak berdiri di Republik Indonesia tercinta ini. Putusan ini telah menguatkan kepercayaan publik terhadap hukum di negeri tercinta ini.
Di sisi lain, atas putusan tersebut para penegak hukum juga tidak bisa diintervensi oleh kekuatan politik maupun kekuatan lain. MA benar-benar telah menunjukkan independensinya untuk menjaga dan mengawal negara hukum dan demokrasi.
Kilas balik, kisruh awal antara Moeldoko dan AHY dimulai saat mantan panglima tersebut dinyatakan terpilih sebagai ketua umum Partai Demokrat. Penetapan tersebut didasarkan KLB yang berlangsung di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada Maret 2021.
Sementara AHY merupakan ketua umum hasil pemilihan dalam kongres di Jakarta pada 2020. KLB Moeldoko dianggap kegiatan ilegal dan inkonstitusional karena digelar tak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Demokrat.
Adapun dalam AD/ART Partai Demokrat hanya bisa menggelar KLB dengan seizin dari ketua majelis tinggi, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun upaya untuk mengesahkan kepemilikan KLB di Deli Serdang ditolak Kemenkumham karena tidak menyertakan sejumlah dokumen yang lengkap.
Tak sampai di situ saja, Moeldoko mengajukan berbagai gugatan baik ke Kemenkumham maupun ke kubu AHY. Salah satunya menggugat AD/ART Partai Demokrat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka mempermasalahkan pasal yang menyebutkan bahwa gelaran KLB hanya bisa dilakukan dengan izin Ketua Majelis Tinggi Partai, yaitu SBY.
Selain itu, Moeldoko juga menggugat menkumham untuk membantalkan SK AD/ART dan kepengurusan Partai Demokrat hasil Kongeres Tahun 2020 ke PTUN namun kembali gugatan ditolak. Jadi, kepengurusan Partai Demokrat versi AHY legal.