Pemeriksaan Airlangga Soal CPO, Pakar Hukum Pidana: Jangan Dikaitkan dengan Isu Politik

Rabu 02 Agu 2023, 17:47 WIB
Kejagung panggil Airlangga Hartanto soal kasus korupsi CPO. (Instagram/@airlanggahartanto_official)

Kejagung panggil Airlangga Hartanto soal kasus korupsi CPO. (Instagram/@airlanggahartanto_official)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kasus korupsi izin ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya berawal dari tahun 2022 lalu, sebagai efek domino kisruh minyak goreng di dalam negeri.

Di mana, pada tahun 2022 terjadi lonjakan hingga kelangkaan minyak goreng. Di saat bersamaan, pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi kisruh tersebut, salah satunya wajib pemenuhan domestik (domestic market obligation/ DMO) bagi eksportir minyak sawit.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kemudian diperiksa selama 12 jam oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin (24/7), sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi tersebut. 

Saat ini, Kejagung berpeluang menjerat Airlangga Hartarto dengan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, yakni turut serta dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil serta produk turunannya, termasuk minyak goreng. 

Sebab, pada peristiwa kelangkaan CPO dan produk turunannya, Airlangga bertindak sebagai Menko Perekonomian yang mengeluarkan arahan-arahan. 

Menanggapi hal ini, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir menilai pemeriksaan Airlangga Hartarto tidak perlu dikaitkan dengan isu politik. Pasalnya, tegas dia, dalam kasus CPO minyak goreng ini memang ada hal yang harus dipertanggung jawabkan oleh Airlangga.

Muzakir mengatakan harus dilihat apakah pengambilan keputusan soal CPO minyak goreng adalah keputusan yang benar atau salah. 

“Jelas sekali keputusan itu salah dan merugikan rakyat dan keuangan negara. (Adanya kerugian negara itu), karena membuat presiden terpaksa membuat keputusan untuk membantu membeli minyak goreng,” ujar Mudzakir, Rabu (2/8).

Atas dasar ini, Mudzakir mengatakan keputusan tersebut salah, dan berefek pada kerugian keuangan negara. Kalau keputusan itu diambil seorang Menko Perekonomian maka menunjukan jika Menko Perekonomian telah mengambil keputusan yang salah. 

“Dan itu menyalahgunakan wewenang yang menyebabkan negara dirugikan,” jelas Mudzakir.

Lanjut Mudzakir, bahwa dalam posisi seperti itu wajar jika jaksa melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Berita Terkait

News Update