SERANG, POSKOTA.CO.ID – Undang-Undang (UU) Kesehatan yang baru disetujui pada 11 Juli 2023 masih mendapat kritikan dari masyarakat.
UU Kesehatan Omnibus Law ini dinilai masih mengabaikan pembatasan konsumsi zat adiktif dan iklan rokok. Sehingga dianggap dapat berdampak negatif pada anak.
Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019, jumlah anak terpapar iklan rokok sebanyak 65,2 persen dengan melihat iklan rokok di tempat penjualan.
Kemudian, 60,9 persen pelajar melihat iklan rokok di luar ruang, 58,8 persen pelajar melihat iklan rokok di televisi, dan 36,2 persen pelajar melihat iklan rokok di internet.
Pengaruh iklan rokok ini sangat besar sehingga membuat anak terpacu untuk mencoba rokok dan menjadi perokok.
Prevalensi perokok anak kian meningkat dari tahun ke tahun, sesuai hasil Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Tahun 2019 Perokok anak meningkat mencapai 10.70 persen.
Sekretaris Umum LPAI, Titik Suhariyati mengatakan, Undang-undang kesehatan masih tidak berpihakan pada isu kesehatan masyarakat terutama para perokok, khususnya perokok anak.
"Saat pandemi banyak yang tidak merokok jadi merokok, termasuk anak juga. Ini regulasi tidak berjalan dengan baik," katanya, Jumat (21/7/2023).
Ia menyebutkan, salah satu tidak berjalan baiknya regulasi terbukti dengan masih banyaknya kasus kekerasan kepada anak.
Sehingga, kehadiran pemerintah dengan membentuk regulasi yang mengatur terkait permasalahan rokok dan pengendalian tembakau yang komprehensif sangatlah penting.
"Banyak regulasi tentang perlindungan anak, tapi masih banyak kasus kekerasan. Apalagi pandemi banyak kasus kekerasan anak," ucapnya.
Sementara itu, Manager Indonesia Institute for Social Development (IISD), Ahmad Fanani menyebutkan, banyak penolakan dari unsur masyarakat ihwal UU Kesehatan.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan DPR dinilai hanya sebatasi formalitas karena masukan yang diberikan tidak diakomodasi sepenuhnya.
"Saya gagal paham pada pasalnya tidak mencerminkan kesehatan anak," ungkapnya.
Ia menerangkan, visi Indonesia 2045 emas berpotensi tidak terwujud dengan tidak berpihaknya UU Kesehatan pada sumber daya manusia terutama anak.
"Investasi tanpa didukung dnegan kesehatan itu mustahil. SDM kita itu harus didukung dengan kesehatan. Mimpi kita 2045 generasi emas terancam visinya," terangnya.
Apalagi dalam survei, 73 persen anak yang merokok akibat orangtuanya aktif mengkonsumsi rokok.
"Salah satu faktor anak merokok 73 persen mempunyai orangtua merokok. Tapi UU ini mengenyampingkan itu, Negara mengabaikan itu sehingga adanya pelemahan tersebut," jelasnya.
Ia menegaskan, pengendalian tembakau dan perlindungan anak mustahil tanpa pengendalian negara. Untuk itu Menkes didorong membuat Peraturan Pemerintah (PP) dalam memperkuat UU Kesehatan.
"Kita mengharapkan Menkes menunjukan komitmennya dengan melindungi kesehatan dan anak dengan memperkuat perlindungan tembakau dengan PP dari UU lainnya," tutupnya. (Bilal)