KEBERADAAN pedagang kaki lima atau (PKL) di sejumlah daerah termasuk Ibu Kota DKI Jakarta kerap dianggap mengganggu ketertiban umum, hingga tak sedikit harus dikejar-kejar aparat Satpol PP.
Bahkan tak jarang mereka juga diseret ke meja hijau, dan berakhir dengan sanksi denda sebagai tindak pidana ringan atau Tipiring.
Alih-alih melakukan penataan dan memberikan nyaman terhadap PKL, Pemprov DKI pada masa Gubernur Joko Widodo atau Jokowi pun saat itu melakukan relokasi PKL di kawasan Pasar Pasar Tanah Abang ke dalam Blok G.
Pemilihan penataan PKL di kawasan Tanah Abang memang bukan tanpa alasan, mengingat semrawutnya wilayah pusat perdagangan tekstil terbesar se Asia Tenggara.
Ditambah menjamurnya para PKL yang menggelar lapak dagangannya di bahu jalan, penataan dengan merelokasi pedangan pun menjadi pilihan pemerintah daerah saat itu.
Lokasi Blok G yang ada di Pasar Tanah Abang pun menjadi tempat yang disiapkan bagi pedagang untuk direlokasi.
Eks pasar di bawah pengelolaan Perumda Pasar Jaya, Blok G pun seketika 'disulap' menjadi bangunan dengan fisik kembali kokoh dan layak ditempati untuk pedagang berjualan lagi.
Saat itu, para pedagang pun dengan sangat terpaksa membuka lapak dagangannya di Blok G Pasar Tanah Abang.
Mereka 'terpaksa' mengingat lokasi relokasi Blok G yang sepi pembeli, dan akan berdampak juga pada sepinya omset penjualan dibanding dengan tempat mereka berdagang sebelumnya sekalipun berada di pinggir jalan.
Tak adanya pengunjung hingga sepinya pembeli sebagaimana yang dikhawatir pedagang membuat mereka gulung tikar, dan sebagian pedagang pun memilih meninggalkan Blok G dengan kembali berjualan di pinggir jalan.
Bagi mereka, kejar-kejaran dengan aparat Satpol PP lebih baik ketimbang harus gulung tikar bertahan di Blok G.