JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Malam itu Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo sudah duduk manis di depan televisi.
Seperti biasa, waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB, pertanda acara favoritnya 'Catatan Demokrasi' siap mengudara di layar kaca.
Berbeda dengan kebanyakan perempuan yang cenderung nyaman nonton sinetron, Sukartini S. Djojohadikusumo justru lebih menggandrungi debat politik di TV.
Apalagi, debat menghadirkan berbagai tema masalah bangsa kekinian, dan mendatangkan sejumlah narasumber eksentrik. Jika sudah ada di quality time-nya, dengan ditemani sepiring buah pepaya, beliau tak bisa diganggu.
Sehari-hari, Ibu Tien --sapaan akrabnya-- selalu tidur larut malam, sekira pukul 23.00 WIB. Dan bangun agak siang.
Konsumsi berita Tien kemudian berlanjut besok siang. Ia selalu memperbaharui informasi lewat dua koran berbahasa asing langganannya, Independent Observer dan Jakarta Post.

Sukartini Djojohadikusumo tengah membaca koran sambil menikmati buah kegemarannya. Foto: Dok Sukartini.
Lagi-lagi, semakin mantap kegiatan itu dia lakukan sambil melahap sepiring buah segar.
Kecintaannya akan politik bukan datang begitu saja. Beliau banyak sekali tahu dinamika politik nasional sejak lama, mulai dari orde lama, orde baru, reformasi, dan masa kini.
Apalagi keluarganya selalu beririsan dengan pengambil kebijakan dari masa ke masa. Maka tak heran, informasi dan politik seakan menjadi bagian dari gaya hidupnya.
Ramai Disorot Publik
Nama Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo tentu sangat asing di telinga milenial dan Gen Z. Maklum, usianya kini 104 tahun.
Dia adalah sosok yang menyaksikan segala macam perubahan di Indonesia, dari era tanpa sambungan telepon hingga kini semua bisa tersambung internet di mana saja.
Tien masuk dalam The Great Generation yang lekat dengan karakter patriotik. Di masa-masa itu memang banyak masyarakat yang lebih mementingkan kepentingan orang banyak, ketimbang kepentingan pribadi.
Tien memang bukan tokoh populer. Tetapi oleh sebagian kalangan di republik ini, dia adalah sosok yang sangat dihormati dan disegani. Termasuk oleh Fadli Zon, Fahri Hamzah, Anies Baswedan dan sederet tokoh 'jetset' negeri ini.
Nama Sukartini Silitonga Djojohadikusumo belakangan ramai disorot publik usai Prabowo Subianto mengunggah kebersamaannya dengan beliau.
Dalam caption foto yang ditautkan di akun Instagram Prabowo --Maret 2023 lalu-- Ketua Umum Partai Gerindra itu menyebut bahwa Sukartini adalah sosok terpelajar yang kini berusia 104 tahun.

Sukartini dan Prabowo tengah merayakan ulang tahun. Foto: Dok Sukartini.
Walau berusia di atas 1 abad, beliau disebut masih sangat sehat, bugar, dan enerjik.
Tak butuh waktu lama, postingan Prabowo langsung diserbu khalayak. Terlebih sosok sepuh dengan usia di atas, sangat jarang ditemui.
Banyak masyarakat lalu memenuhi dinding komentar dan mengapresiasi sosoknya, termasuk kedekatan dan besarnya perhatian Prabowo Subianto padanya. Apalagi doa-doa 'mustajab' ikut diucap Prabowo kepadanya.
Profil Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo
Redaksi Poskota.co.id berkesempatan berbincang dengan anak kedua Sukartini, Mitra Vinda (58 tahun).
Menurut Vinda, ibunya, Sukartini Djojohadikusumo lahir di Madiun, pada 19 Maret 1919 silam. Sukartini adalah anak kedua dari lima bersaudara. Dan dia adalah tante Prabowo --adik dari ayahnya.
Usia Tien lebih muda 2 tahun dari kakaknya Prof Sumitro Djojohadikusumo (ayah Prabowo).

Kakak beradik, Sumitro, Sukartini, Miniati, Subianto, Sujono. Foto: Dok Sukartini.
Tien lahir dari keluarga berada. Sang ayah, Margono Djojohadikusumo dikenal sebagai salah satu begawan koperasi Indonesia, yang mendirikan Bank Negara Indonesia 46 (sekarang BNI).
Sukartini kecil dikenal sebagai sosok 'bandel'. Dia senang bermain, dan tak seperti seorang anak yang terlahir dari darah priyayi yang kerap bersikap 'jaga image'. Tak heran dia punya banyak kawan, dan menjadi figur yang disenangi oleh teman-temannya.
"Ibu selalu cerita, masa kecilnya cukup bandel, sukanya olahraga. Orangnya gaul, punya banyak teman. Saat sekolah saja, dia justru lebih senang kalau selalu ada di lapangan. Dia gemar atletik."
"Makanya waktu PON pertama di Solo, dia juga ikut," kata Mitra Vinda Kamis 13 Juli 2023.
Menurut Vinda, karena terlahir dari keluarga priyayi, ibunya memperoleh akses pendidikan memadai. Dia mengenyam pendidikan termasyhur di eranya, yakni sekolah Belanda di Jakarta, Koning Willem III School te Batavia (Kawedri). Sekolah ini termasuk kategori Gouvernements Hoogere Burgerschool (HBS) atau Openbare HBS.
HBS adalah sekolah kaum elite yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Siswa yang bisa masuk, hanya sebagian besar orang Eropa, dan anak dari beberapa tokoh terkemuka Bumiputra. Sebagai gambaran, siswa pribumi yang bisa ikut belajar di sana hanya 5 persen dari total siswa di HBS.
Ketika itu, Tien mengambil jurusan de literaire ekonomische afdeeling yang mempelajari ekonomi, sastra, dan kebudayan, termasuk bahasa dan kebudayaan Yunani, dan bahasa Latin.
Walau bergaya prokem, Tien kecil dikenal punya minat tinggi pada beberapa mata pelajaran. Beliau juga terdaftar mengenyam pendidikan di Carpentier Alting Stichting (CAS) sebelum akhirnya pada 1937, melanjutkan pendidikan di Belanda.

Sukartini remaja saat mengenyam pendidikan di Belanda. Foto: Dok Sukartini.
Alhasil, Tien kecil menjelma menjadi sosok perempuan terpelajar, di mana dia dikenal sebagai ahli bahasa yang menguasai dan fasih berbicara Belanda, Prancis, Inggris, dan Indonesia. Bahkan, dia juga mendapat beasiswa terkait bahasa di Prancis.

Kenangan masa sekolah Tien di Belanda sekira tahun 1937. Tebak beliau yang mana? Foto: Dok Mitra Vinda.
Menurut Vinda, pengkayaan humanistik ibunya banyak dibentuk oleh kualitas pendidikan yang dia kenyam sejak bangku sekolah hingga kuliah di luar negeri.
Sosok Pendidik Masyhur
Saat perang dunia pecah, Tien memilih kembali ke Indonesia. Sekembalinya ke Tanah Air, Tien langsung mulai bekerja dan mengawali karir di Kementerian Luar Negeri.
"Karena kemampuan bahasa asingnya yang sangat baik, Ibu langsung bekerja di Kemenlu," kata Vinda.
Setelah mengabdi beberapa waktu di Kemenlu, jiwa pendidik Sukartini muncul. Dia lantas memilih menjadi seorang dosen di Universitas Indonesia. Adapun mata kuliah yang diajarkannya, yakni Bahasa Inggris.
Beliau juga sempat mengajar di sejumlah lembaga pendidikan, mulai dari Akademi Perniagaan Indonesia (API), Trisakti, hingga memberikan sejumlah les privat untuk bidang bahasa.
Tien lalu menikah dengan Maruli Silitonga. Dari sanalah asal-usul Silitonga turut disematkan pada nama tengahnya. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua orang anak, Mora Dharma dan Mitra Vinda.

Tien menikah dengan dengan Maruli Silitonga, dan dikaruniai anak bernama Mora Dharma dan Mitra Vinda. Foto: Dok Sukartini kepada Poskota.
Suami Sukartini, Maruli Silitonga dahulu bertugas di Kantor Sekretariat Negara (Setneg) era Soeharto. Pada tahun 1992, Maruli Silitonga kemudian wafat di usia 64 tahun. Sejak itu Tien menjanda.
Tien selalu mengisi waktu dengan mendidik. Bahkan dia terus menjadi dosen sampai usianya 80 tahun. "Ibu saya terakhir mengajar sebagai dosen di usia 80 tahunan. Jadi memang dia banyak mengabdikan diri sebagai pendidik," katanya.
Walau gemar politik, semasa hidup, Sukartini tak aktif di partai. Termasuk di Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir dan kakaknya Sumitro. Ketika remaja, dia disebut hanya menjadi kader biasa.
Tien tercatat pernah menulis beberapa buku-buku pendidikan. Buku-buku itu ditulis untuk kebutuhan kuliah. Dia juga kerap menulis tentang dewa-dewa Yunani, Mitologi Yunani, metodologi bahasa Inggris, Panta Rhei, dan sejumlah buku yang juga ditulis oleh temannya, namun berdasarkan buah pemikiran beliau.

Sukartini bersama adiknya Miniati dan sang ayah Margono Djojohadikusumo di Eropa. Foto: Dok Sukartini kepada Poskota.
Perjalanan hidup tentu membuat Tien diliputi rasa syukur. Dia tetap haus akan ilmu.

Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo yang selalu hobi olahraga outdoor. Foto: Dok Sukartini kepada Poskota.
Dari sanalah, Tien terus belajar hingga kini. Karena dia sadar, ada filsafat kuat yang digenggamnya hingga kini, Cogito Ergo Sum dari Descartes yang erat kaitannya dengan pengetahuan, dan memiliki arti “aku berpikir maka aku ada”.
Bersambung ke Bagian II.