Kopi Pagi: Memagari Demokrasi

Kamis 08 Jun 2023, 16:39 WIB
Kopi Pagi Harmoko. Foto: Poskota.

Kopi Pagi Harmoko. Foto: Poskota.

“Mari, di gerbong mana pun kita turut, di kubu siapa pun ikut, kita tidak boleh “main sikut”. Kita adalah satu saudara, satu bangsa Indonesia yang senantiasa menjunjung tinggi etika, norma dan adab budaya.”

-Harmoko-

Diakui atau tidak, situasi politik kian menghangat. Saling kritik antar kader parpol sudah dilakukan lebih terbuka. Seolah, tidak perlu ditutupi lagi bahwa mereka yang saling kritik tersebut memposisikan diri berseberangan sebagai lawan politik dalam pemilu 2024.

Sementara di level petinggi parpol masih dalam batas saling sindir. Meski publik paham betul siapa yang disindir dan siapa pula yang menyindir. Begitu juga yang dilakukan bakal calon presiden (bacapres).

Itulah dinamika politik yang dapat kita saksikan saat ini. Dapat diduga, saling kritik akan semakin tajam, berubah menjadi saling serang dan menjatuhkan, bagaikan musuh di medan perang.

Polarisasi ditengarai akan tetap mewarnai manuver politik dalam meraih suara terbanyak demi memenangkan kontestasi, tak ubahnya dinamika pilpres tahun 2014 dan tahun 2019.

Padahal kita sependapat, sejumlah elemen bangsa, termasuk para petinggi negeri bersepakat mencegah politik pecah belah.

Politik identitas yang dikhawatirkan akan memecah belah bangsa, menyisakan pembelahan sosial, harus ditinggalkan. Tetapi, jika polarisasi, terus dikedepankan, sama halnya telah membuat garis batas dua kelompok yang berseberangan dan berlawanan.  Di akar rumput, bisa berkembang menjadi saling bermusuhan, meski hanya dalam konteks pilpres, tetapi cukup berpotensi berkembang menjadi konflik horizontal.

Menjadi pertanyaan bagi kita, apakah pengelompokan dukungan semacam ini tidak akan menyisakan pembelahan sosial? Jawabnya menjadi bahan renungan kita semua, utamanya para elite politik dan kandidat yang dengan sengaja menarik batas secara tegas dan keras dengan lawan politiknya dan para pendukungnya.

Lebih – lebih jika narasi dikemas sedemikian rupa, bahwa kelompoknya yang paling baik dan benar. Sangat peduli kepada rakyat dan paling bisa memajukan bangsa dan negara.Sementara mereka yang di berada di seberang sana adalah tidak baik, jelek, buruk dan tidak peduli rakyat kecil. Apalagi kemampuan untuk memajukan bangsa.

Ibarat kecap memang semuanya nomor satu. Paling baik dan unggul. Tetapi dalam etika bisnis, tonjolkan keunggulan produknya sendiri, tanpa menjelekkan produk lain, pesaing.

Jika dalam bisnis saja, terdapat etika yang dipatuhi semua, mestinya dalam berdemokrasi untuk membangun bangsa dan negara, hendaknya lebih mengedepankan etika, ketimbang ego politik kelompoknya.

Memang etika tidak diatur dalam berdemokrasi. Dalam pilpres, pileg dan pilkada hanya diatur aturan main dalam kampanye. Soal etika diserahkan kepada para pelakunya.  

Itu pula mengapa, bakal calon presiden yang menggunakan masjid sebagai bagian aktivitas, rajin mengunjungi masyarakat, tidak dapat dikenakan sanksi karena bukanlah pelanggaran. Tidak disebut kampanye, karena memang belum masanya kampanye. Kalau disebut curi start dan sebagainya, itu hanya soal etika yang terkait dengan moral.

Menjadi urusan etika pula, jika ada pihak – pihak yang  mencoba memproduksi keburukan, mengemas kebencian dan permusuhan kepada lawan politiknya dengan membeberkan aib keluarga masa lalu yang tak ada hubungannya sama sekali dengan rekam jejak.

Menggiring opini  agar terbangun beragam prasangka yang dapat mengurangi tingkat kepercayaan publik kepada kandidat lawan, hendaknya ditinggalkan.

Tidak terbantahkan bahwa perkembangan demokrasi sejak era reformasi begitu pesat dan melesat. Tetapi, kita tentu tak ingin di era kini, jelang pilpres, kebablasan.

Ini menjadi tantangan kita bersama bagaimana memagari perkembangan demokrasi tidak keluar dari ruhnya. Tidak melenceng dari pijakan awal berdirinya negeri ini sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, negara yang berkedaulatan dalam bingkai NKRI.

Mencegah penyimpangan demokrasi menjadi semakin penting seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom”Kopi Pagi” di media ni.

Dalam era digital, dengan kian beragamnya media sosial yang tanpa batasan ruang dan waktu, tanpa sekat sosial, memberi peluang setiap orang mengungkap pendapatnya kepada publik.

Kondisi ini ikut membentuk praktik demokrasi sehari –hari, termasuk dalam menyikapi kian menghangatnya situasi jelang Pilpres 2024.

Kini, peluang menyatakan pendapat lebih terbuka, hak mengoreksi dan mengkritisi tidak dibatasi. Menjadi bermasalah, jika rujukan yang digunakan narasi keburukan, yang kemudian dikemas menjadi beragam prasangka buruk.

Karenanya, elite politik hendaknya meneladani dengan mengemas narasi penuh etika guna menguatkan persatuan dan kesatuan. Bukan memproduksi kebencian dan permusuhan yang mendulang perpecahan.

Mari kita pagari demokrasi, di gerbong mana pun kita turut, di kubu siapa pun ikut, kita tidak boleh “main sikut”. Kita adalah satu saudara, satu bangsa Indonesia yang senantiasa menjunjung tinggi etika, norma dan adab budaya. (Azisoko)

Berita Terkait

Mimpi Kita

Senin 26 Jun 2023, 10:11 WIB
undefined

Momen berbagi

Senin 03 Jul 2023, 07:14 WIB
undefined

Koperasi Masa Depan

Kamis 13 Jul 2023, 06:17 WIB
undefined

News Update