“Apa bedanya lawan dan musuh?” tanya mas Bro mengawali obrolan warteg usai maksi bersama sohibnya, Heri dan Yudi.
“Ya, nggak ada bedanya. Lawan, musuh, rival, seteru itu artinya sama,” kata Heri.
“Menurut saya juga sama, tinggal bagaimana memperlakukannya, menyikapinya,” tambah Yudi.
“Menurut Ayu, gimana?,” tanya mas Bro kepada Ayu Bahari, pemilik warteg.
“Saya nggak ikut komen mas. Soalnya dari dulu nggak punya musuh. Kalau rival merebut hati seseorang, memang dulu ada, saat SMA,” jawab Ayu.
“Saya dulu juga punya lawan saat ingin menjadi ketua OSIS,” tambah Heri.
“Jadi terjawab sudah, ada perbedaan antara lawan dan musuh. Lawan tanding dalam badminton atau catur, bukanlah musuh, tetapi teman dalam olahraga, untuk menguji kemampuan,” kata mas Bro.
“Apa bedanya dengan musuh?” sela Heri.
“Kalau musuh cenderung akan saling menghabisi,” kata mas Bro.
“Terus ini arah obrolan mau ke mana?” timpal Yudi.
“Maksudnya jangan menempatkan lawan politik sebagai musuh, tetapi teman bertanding sebagaimana layaknya dalam olahraga,” urai mas Bro.
“Berarti kalau kalian beda dukungan capres, jangan posisikan saya sebagai musuh. Kita tetap sebagai teman. Makan siang tetap bersama, ngobrol bersama, tapi soal ngutang ga boleh sama,” pintaYudi.
“Kalau bermusuhan yang rugi kita juga, apalagi cuma simpatisan,” kata Heri.
“Sebagai simpatisan biasanya akan terbawa arus oleh mereka yang berlaga dalam pilpres,” kata Yudi.
“Karena itu para elite politik, para capres harus memberi teladan. Jangan menganggap lawan politik sebagai musuh, seperti dikatakan Bacapres Anies Baswedan,” ujar mas Bro.
“Semoga masing – masing capres tidak saling bermusuhan,” ujar Yudi. (jokles)