Oleh: Miftahur Rahman Isbandi, Wartawan Poskota
SUDAH menjadi tradisi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Setiap menjelang lebaran Idul Fitri, ratusan juta penduduk Indonesia yang tinggal di kota akan pulang kampung atau mudik.
Bahkan, jumlah pemudik tahun 2023 ini diperkirakan akan meningkat drastis dibanding tahun lalu. Tahun ini, orang yang akan pulang ke kampung halamannya mencapai 123 juta.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik memiliki arti berlayar atau pergi ke udik. Di mana udik diartikan sebagai hulu sungai.
Kata 'udik' diambil dari bahasa Melayu, yang memiliki arti hulu atau ujung sungai.
Pada masa lampau, masyarakat Melayu yang tinggal di hulu sungai, kerap berpergian ke hilir sungai dengan menggunakan perahu atau biduk.
Setelah urusannya selesai, mereka akan kembali pulang ke hulu pada sore hari. Aktivitas kembali ke hulu itulah yang disebut 'mudik'.
Namun kata 'udik' juga bisa dimaknai sebagai tempat atau wilayah yang jauh dari keramaian. Seperti kampung atau dusun.
Orang Udik berarti orang yang tinggal di desa yang jauh dari kota. Mudik berarti kembali ke udik atau kampung.
Antrolog Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, menyampaikan bahwa istilah mudik mulai dikenal secara luas pada tahun 1970-an.
Setelah Orde Baru melakukan pembangunan di sejumlah kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan.
Kondisi ini menyebabkan sebagian orang melakukan urbanisasi atau pergi ke kota untuk mencari pekerjaan ataupun usaha. Setelah sukses atau punya pekerjaan tetap di kota, sebagian besar mereka kemudian menetap di kota.
Tradisi ini kemudian diikuti oleh keluarga, saudara, atau tetangga. Mereka ikut berbondong-bondong merantau ke kota.
Setelah lama hidup di kota dan jauh dari kerabatnya, rasa rindu akan kampung halaman begitu besar. Namun, kebanyakan masyarakat kota tak punya banyak waktu luang untuk mudik.
Karena itu, tak jarang masyarakat yang merantau dan hidup di perkotaan, menunggu waktu libur panjang atau mengambil cuti agar bisa kumpul bersama keluarga dan kerabat di kampung halamannya.
Tradisi itu terus berlangsung turun temurun hingga sekarang. Hari Raya Idul Fitri menjadi momen yang ditunggu masyarakat untuk melakukan perjalanan mudik serentak ke kampung halaman.
Karena itu, momen mudik harus menggembirakan. Jangan sampai menjadi horor yang menyeramkan. Presiden Jokowi pun sudah mewanti-wanti, tragedi Brexit atau Brebes Exit tahun 2016 jangan sampai terulang kembali.
Tragedi kemacetan horor di mana antrean kendaraan mengular hingga puluhan kilometer, yang disebabkan oleh lambatnya pembayaran di pintu tol. Mereka antre berjam-jam bahkan sampai seharian.
Tragedi Brexit itu menyebabkan 15 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya sakit akibat kelelahan dan dehidrasi.
"Saya ingatkan semuanya yang ingin mudik, hati-hati! Ada lompatan yang besar jumlah masyarakat yang mudik, dari 86 juta ke 123 juta. Artinya, ada kenaikan kurang lebih 45 persen," kata Jokowi.
Jangan sampai euforia setelah bebas dari pandemi justru menjadi petaka. Jangan sampai kegembiraan itu menjadi duka. Karena mudik itu ibadah. (*)