“Keserakahan akan membawa kesengsaraan, dan menciptakan kesenjangan baru, lebih – lebih jika ditampilkan oleh para elite negeri ini, yang mestinya menjadi teladan dalam kesederhanaan dan kedermawanan “
-Harmoko-
Keserakahan dapat merusak segalanya. Kerusakan lingkungan yang berdampak timbulnya banjir dan tanah longsor, berawal dari keserakahan manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam. Begitupun korupsi. Jabatan dimiliki, kekayaan berlebih, kekuasaan meluas, tetapi masih saja korupsi untuk memperkaya diri, karena tadi, adanya sifat serakah.
Fakta membuktikan sudah ratusan pejabat publik terjerat korupsi karena sikap tidak puas atas apa yang telah dimiliki. Jabatan yang dimiliki bukan untuk kemaslahatan rakyat, tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan privat dan rekan sejawat.
Seseorang disebut serakah karena selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki. Sering disebut tamak, loba, rakus atau sifat serupa yang mencerminkan perilaku tidak pernah puas atas apa yang telah dimiliki.
Tidak ada kepuasaan dalam dirinya. Ingin selalu tampil lebih segalanya dari orang lain, baik soal harta, kemewahan, kepemilikan pangkat dan jabatan serta status sosialnya.
Flexing barang mewah di media sosial adalah upaya pengenalan identitas diri soal kehebatannya karena kemewahan yang dimilikinya.Tujuannya mengerek status sosialnya – sering disebut pansos.
Jika ingin selalu menguasai flexing dengan menebar kemewahan agar mendapat pengakuan publik, itu sudah mengarah kepada keserakahan sosial.
Itulah sebabnya serakah tak hanya merusak lingkungan, juga diri sendiri, akan menjadi penyakit hati yang sulit diobati seperti iri, dengki, takabur, sombong. Juga kesewenang – wenangan yang berujung kepada kian suburnya penyalahgunaan, manipulasi, gratifikasi dan korupsi.
Agama apa pun mengajarkan pemeluknya menjauhkan diri dari sikap tamak dan serakah. Bahkan, agama sangat membenci sikap serakah. Keserakahan merupakan perilaku hina dalam agama. Keberadaannya bukan saja dibenci penduduk bumi, juga dibenci penduduk langit.
Leluhur kita telah mengajarkan untuk hidup sederhana, tidak bermewah ria, tidak riya, tidak pula mengada – ngada. Tetapi hiduplah sewajarnya, secukupnya dan sepantasnya- disebut Urip sak madya.
Anjuran agar tidak boros dan tidak bergaya hidup mewah seperti dirumuskan dalam butir- butir sila kelima Pancasila, merupakan cerminan dari urip sak madyo sebagaimana kehendak para founding fathers kita.
Untuk mencegah sifat serakah, kita dianjurkan senantiasa bersikap “sumeleh lan nrimo ing pandum” – berserah diri atas sebuah ketetapan Yang Maha Kuasa. Bersyukur atas apa yang telah diberikan dengan penuh keikhlasan.
Tentu urip sak madyo bukan berarti miskin tak berharta. Tetapi filter diri agar tidak hidup berlebihan, apalagi ke sana - kemari pamer harta. Ajaran agar selalu menjaga kesopanan dan nilai – nilai kepatutan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Juga nrimo ing pandum bukan berarti pasrah, tetapi menerima keadaan setelah berbagai upaya dijalankan. Ajakan agar selalu berpikir positif, tidak mengeluh oleh keadaan serta tidak selalu terbuai harapan yang dapat menyilaukan mata hingga tergoda mendapatkan harta benda dengan melanggar norma. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
Itulah sebabnya dikatakan keserakahan dapat merusak segalanya. Merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, yang tidak saja merugikan diri sendiri, lingkungan sekitarnya.
Juga merusak perekonomian bangsa dan negara serta merusak mental generasi muda. Mengapa? Keserakahan akan membentuk jiwa yang tak sesuai dengan jati diri bangsa seperti tinggi hati, arogan, sewenang – wenang, selalu merasa kurang, tidak menghargai pemberian orang lain, kikir serta tidak memiliki kepedulian sosial.
Padahal sifat – sifat seperti rendah hati dan saling peduli, dermawan sangat dibutuhkan di era “awan gelap”, di tengah beragam ancaman krisis.
Keserakahan akan membawa kesengsaraan, dan menciptakan kesenjangan baru, lebih – lebih jika ditampilkan oleh para elite negeri ini, yang mestinya menjadi teladan dalam kesederhanaan dan kedermawanan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Mari kita ubah sifat serakah menjadi “qonaah” , kemewahan menjadi kesederhanan, tinggi hati menjadi rendah hati, kikir menjadi dermawan dalam menghadapi beragam tantangan dan ancaman. (Azisoko).