Oleh Joko Lestari, wartawan Pos Kota
Membentuk koalisi tidak bisa ditawar lagi, ibarat barang sudah harga mati. Tanpa koalisi, kedelapan parpol parlemen hasil pemilu 2019, tidak bisa mengusung paslon capres- cawapres pada pilpres 2024 karena terbentur Presidential Threshold (ambang batas pengajuan capres).
Hanya satu parpol, yakni PDIP yang bisa mandiri mengajukan capres karena memperoleh 128 kursi di DPR, melampaui ambang batas yang ditetapkan sebanyak 115 kursi sebagaimana ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Semakin besar koalisi parpol, kian jauh melewati ambang batas, yang berarti semakin besar peluang menguasai kursi kabinet, jika koalisi ini berlanjut dan memenangkan kontestasi. Dapat dimaknai, koalisi harga mati guna mengusung dan memenangkan capres, tetapi tidak harga mati, dalam sharing power.
Itulah sebabnya, membangun koalisi besar seperti yang diinisiasi oleh Ketum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, terus diupayakan dengan menggabungkan minimal 5 parpol (Golkar, PAN, PPP, Gerindra dan PKB) menjadi koalisi besar.
Seperti diketahui, hingga kini sudah terbangun 3 koalisi, yaitu: Koalisi Indonesia Bersatu (KIB –Golkar, PAN dan PPP). Dengan 148 kursi di DPR sudah memenuhi ambang batas, tetapi belum memutuskan capres – cawapres.
Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR – Gerindra dan PKB) dengan 136 kursi di DPR, sudah memiliki tiket, tetapi belum juga memutuskan capres.
Yang terjadi kemudian adalah akan meleburnya KIB dan KKIR menjadi koalisi besar. Jika PDIP bergabung akan menjadi koalisi lebih besar lagi, memiliki sekitar 75 persen suara hasil pemilu tahun 2019.
Jika PDIP masuk dalam koalisi besar, berarti hanya akan ada 2 paslon capres- cawapres pada pilpres 2024. Satu paslon diajukan oleh koalisi besar, satunya lagi oleh Koalisi Perubahan (Nasdem, PKS dan Demokrat) dengan capresnya Anies Baswedan.
Tidak ada alternatif pilihan, yang berarti akan mengulang sejarah pilpres 2014 dan 2019 dengan hanya 2 paslon yang melahirkan dua kubu dominan disebut sebagai Cebong dan Kampret yang hingga kini masih menggejala.
Akankah polarisasi politik berlanjut hingga pilpres 2024 dan sesudahnya? Jawabnya bisa beragam. Tetapi, polarisasi bisa berlanjut, jika pola- pola lama dalam meraih suara, masih dipertahankan. Sebab, ada yang berpendapat, polarisasi sebenarnya bisa dikatakan artifisial, hanyalah strategi meraup suara.
Kembali kepada koalisi besar, akankah linier dengan hasil perolehan suara pilpres? Jawabnya tidak akan sama persis. Tetapi jika dikatakan koalisi besar berpeluang memenangkan pertarungan, jawabnya “iya”. Tetapi akankah pasti, jawabnya “tidak menjamin”.
Dalam pilpres lebih melihat figur capres- cawapres, bukan parpolnya. Peluang menang karena dukungan suara kader parpol tidak terbantahkan, tetapi tidak dengan simpatisannya, karena tidak terikat dengan disiplin dan loyalitas partai.
Belum lagi jika mesin partai tidak bergerak, tak selaras kehendak rakyat.