Kopi Pagi: Memperkokoh Kedaulatan (2). Foto: Poskota.

Kopi Pagi

Memperkokoh Kedaulatan (2)

Senin 06 Mar 2023, 06:48 WIB

Pengantar: Tanggal 1 Maret ditetapkan sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Terkait dengan itu, melalui kolom Kopi Pagi ini, kami sajikan 3 tulisan berseri. Ini seri kedua. 

“.. partisipasi politik yang diarahkan, apalagi dipaksakan tidak saja akan dijauhi, tetapi dapat menimbulkan antipati. Kalau pun dipaksakan karena adanya kekuatan dan kekuasaan, akan melahirkan partisipasi semu,” -Harmoko -
 
Kedaulatan negara tidak hanya bebas merdeka dari penjajahan. Tidak pula  karena dapat menjalankan pemerintahannya sendiri setelah mendapat pengakuan dunia, memiliki wilayah kedaulatan dan rakyat yang berdaulat. Tetapi, tak kalah  pentingnya adalah berdaulat secara politik, ekonomi dan kebudayaan.

Ini sejalan dengan konsep “Trisakti”, tiga kekuatan yang harus diwujudkan agar Indonesia menjadi negara dan bangsa yang besar seperti digagas Bung Karno, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Makna yang dapat kita tangkap bahwa para pendiri bangsa (founding fathers) meletakkan “kedaulatan” sebagai bagian dari cita- cita kemerdekaan dan berdirinya Republik Indonesia, negeri yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana tujuan negeri ini didirikan.

Lantas apa yang dimaksud dengan kedaulatan politik? Berbicara kedaulatan politik tak bisa dipisahkan dengan kedaulatan rakyat. Mengingat kedaulatan politik menyangkut kekuasaan rakyat untuk terlibat dalam penentuan kebijakan politik dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ini diwujudkan melalui pemilihan umum, baik itu pilpres, pileg maupun pilkada, di mana suara rakyat akan menentukan pejabat publik, postur penguasa dan kekuasaan baik di bidang eksekutif maupun legislatif.

Tak berlebihan sekiranya dikatakan “suara rakyat” adalah “suara Tuhan” yang akan memberi mandat kepada para pemimpin untuk memajukan bangsa dan negara, setidaknya lima tahun ke depan.

Karena itu, siapapun yang terpilih menerima mandat rakyat pada pemilu serentak tahun 2024,  jangan mengingkari amanat rakyatnya mewujudkan cita – cita negeri, yakni masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.

Mewujudkan negeri kita yang “Gemah ripah loh jinawi”- suatu kondisi yang sangat subur serta sangat makmur daerahnya menjadi “Tata tentrem kerta raharja” – tertib, aman, damai serta sejahtera dan berkecukupan segala sesuatunya.

Saya tidak berpretensi terhadap sosok yang layak menjadi pemimpin bangsa, mengingat kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Siapapun yang terpilih, itulah pilihan rakyat, sepanjang mekanisme proses politik berjalan transparan, bersih, jujur dan adil serta tidak pula memihak.

Ini harus dimulai dari penyelenggara pileg, pilpres dan pilkada,badan pengawas, institusi penjaga dan pengaman, dan lembaga lain yang ikut terlibat demi lancar dan suksesnya penyelenggaraan pemilu.

Begitu juga politisi yang berkompetisi, berlaga menuju istana, caleg yang berjuang menempati gedung pusat wakil rakyat di Senayan, maupun di daerah bersama DPD –nya.

Yang terpenting lagi, bagaimana memberikan akses semudah dan seluas mungkin kepada masyarakat dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Melindungi hak politiknya, menjamin kebebasan dalam menyalurkan hak politiknya, menghargai adanya perbedaan aspirasi dan pilihan politiknya.

Jika para elite bebas berkompetisi meraih kekuasaan, rakyat pun sudah seharusnya bebas dari tekanan, ancaman, hasutan, dan hinaan dalam menggunakan hak politiknya. Bebas pula dari intimidasi, diskriminasi dan manipulasi serta janji - janji.

Tidak kalah pentingnya adalah rakyat bebas dari pemaksaan ketika menyalurkan aspirasi politiknya seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Di era kini, partisipasi, termasuk partisipasi politik dalam pemilu, yang diarahkan, apalagi dipaksakan tidak saja akan dijauhi, tetapi dapat menimbulkan antipati.

Kalau pun dipaksakan karena adanya kekuatan dan kekuasaan, tingkat partisipasi yang muncul hanyalah di permukaan. Sering disebut sebagai partisipasi semu.

Kita tentu tak ingin menghasilkan demokrasi semu, legalitas hasil pemilu semu dan pada akhirnya akan melahirkan kepercayaan semu. (Azisoko).

Tags:
Kopi Pagiharmokoposkota

Administrator

Reporter

Administrator

Editor